Gadis itu bernama Gea, ABG tanggung yang baru saja mekar. Tak ada mata lelaki yang bisa melepaskan pandangan darinya, pokoknya "cihuy" kata orang-orang.
Spontan aku berkata, "Gea manise mau kemana? biar Om yang antar, ya?"Â
Meski ia hanya berlalu pergi, tapi tetap saja aku betah memandang dari jauh. Tak terasa senyum ini terpasang begitu lama, akupun langsung mengenggak habis kopi di atas meja.Â
"Itu kopi milikku, Darman!" seru Pace Dion.Â
Bukan soal kopi yang aku khawatirkan. Namun, raut wajah Pace Dion sudah lain. Biasanya ia pasang wajah ramah, meskipun aku salah ambil kopi.Â
Kali ini, wajahnya begitu buas. "Mati aku! pasti dia tak senang, anak gadisnya kulirik genit," ucapku dalam hati.Â
Setelah meletakkan uang sepuluh ribu rupiah di bawah cangkir, aku beranjak pergi. Sikap waspada, jangan sampai kejadian di warung kopi Mas Marwoto, terjadi lagi di sini.Â
Apes betul nasibku hari ini. Mungkin, saatnya aku pulang ke rumah dan tidur saja. Paling tidak aku bisa menenangkan pikiran. Serasa bertubi-tubi masalahku di hari Minggu.
"Hayo, ada hubungan apa koe karo Mbak Nila! kebangetan koe, Mas!"
Belum sempat aku menutup pagar, tiba-tiba saja tangan halus putih bersih dan wangi menjewer kupingku dengan keras. Hampir putus kupingku rasanya. Akupun berteriak kesakitan.Â
Istriku begitu emosi. Bagai kerbau dicocok hidung, akupun pasrah saat diseret masuk rumah dengan kondisi kuping dijewer.Â
Begitu tangannya lepas dan situasi sudah mulai kondusif, karena mungkin ia sudah capek mengomel sejak siang sampai malam hari. "Besok pagi, aku tak punya muka lagi untuk bertemu tetangga," keluhku.Â
Malam tadi juga, aku mulai bercerita tentang kesalahpahaman yang terjadi antara aku, Mbak Nila dan Mas Marwoto. Namun, tetap saja istriku tak percaya. Ia masih terlihat cemberut. Sinar kecantikannya kini, malah membuatku sakit mata.Â