Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Libur Ngopi

23 Mei 2021   13:27 Diperbarui: 23 Mei 2021   13:31 949
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Libur Ngopi /Foto: Khoinguyenfoto Via Pixabay.

"Saya cuma mau ngopi, Mas!" kilahku, ketika Mas Marwoto mengusirku dari warung kopi miliknya. 

"Ra percoyo! lekas minggat!" gelegar suara Mas Marwoto, membuat para pelanggan mengarahkan pandangan sinis kepadaku. 

"Karena Mbak Nila cantik, rusak reputasiku satu kampung."

Bertahun-tahun, aku ngopi di sini. Baru hari ini diusir secara kasar, tak sopan dan tidak manusiawi. Benar-benar malu aku dibuatnya.

Mas Marwoto, sungguh keterlaluan. Padahal semua masalah dapat diselesaikan dengan baik-baik. Tak perlu marah-marah, apalagi sampai mengusirku dengan cara demikian. 

Pagi ini aku sungguh kecewa. Perasaan dongkol dan malu, campur aduk jadi satu. Apa kata orang-orang kampung, apa kata dunia. Yang lebih penting, apa kata istriku. 

Aku pergi ke kedai kopi lain di ujung kampung. Pace Dion mungkin akan mendengarkan curahan hatiku yang terzalimi. Kadangkala, celotehan berisi nasehat bijak darinya cukup ampuh. 

Setelah memesan kopi tubruk, aku mulai berbasa-basi dengan Pace Dion. Kelakar pemilik kedai kopi ini, membuatku sangat terhibur. 

Di balik kelakar yang biasa Pace Dion sampaikan, ada makna yang dalam tentang kehidupan. Ya, itulah kira-kira penilaianku. 

Hingga, aku berniat membuka mulut untuk bercerita tentang kejadian di warung kopi Mas Marwoto, tiba-tiba muncul anak gadis Pace Dion. 

Pandanganku yang tadinya lurus ke depan, kini berputar ke arahnya. Seakan terhipnotis, aku benar-benar lupa tengah bercengkrama dengan ayahnya. 

Gadis itu bernama Gea, ABG tanggung yang baru saja mekar. Tak ada mata lelaki yang bisa melepaskan pandangan darinya, pokoknya "cihuy" kata orang-orang.

Spontan aku berkata, "Gea manise mau kemana? biar Om yang antar, ya?" 

Meski ia hanya berlalu pergi, tapi tetap saja aku betah memandang dari jauh. Tak terasa senyum ini terpasang begitu lama, akupun langsung mengenggak habis kopi di atas meja. 

"Itu kopi milikku, Darman!" seru Pace Dion. 

Bukan soal kopi yang aku khawatirkan. Namun, raut wajah Pace Dion sudah lain. Biasanya ia pasang wajah ramah, meskipun aku salah ambil kopi. 

Kali ini, wajahnya begitu buas. "Mati aku! pasti dia tak senang, anak gadisnya kulirik genit," ucapku dalam hati. 

Setelah meletakkan uang sepuluh ribu rupiah di bawah cangkir, aku beranjak pergi. Sikap waspada, jangan sampai kejadian di warung kopi Mas Marwoto, terjadi lagi di sini. 

Apes betul nasibku hari ini. Mungkin, saatnya aku pulang ke rumah dan tidur saja. Paling tidak aku bisa menenangkan pikiran. Serasa bertubi-tubi masalahku di hari Minggu.

"Hayo, ada hubungan apa koe karo Mbak Nila! kebangetan koe, Mas!"

Belum sempat aku menutup pagar, tiba-tiba saja tangan halus putih bersih dan wangi menjewer kupingku dengan keras. Hampir putus kupingku rasanya. Akupun berteriak kesakitan. 

Istriku begitu emosi. Bagai kerbau dicocok hidung, akupun pasrah saat diseret masuk rumah dengan kondisi kuping dijewer. 

Begitu tangannya lepas dan situasi sudah mulai kondusif, karena mungkin ia sudah capek mengomel sejak siang sampai malam hari. "Besok pagi, aku tak punya muka lagi untuk bertemu tetangga," keluhku. 

Malam tadi juga, aku mulai bercerita tentang kesalahpahaman yang terjadi antara aku, Mbak Nila dan Mas Marwoto. Namun, tetap saja istriku tak percaya. Ia masih terlihat cemberut. Sinar kecantikannya kini, malah membuatku sakit mata. 

"Aku hanya bilang, kopiku tak perlu pakai gula. Mbak Nila sudah manis kupandang. Ya ampun, itu hanya ramah tamah," ucapku. 

"Kalau hanya soal itu, mana mungkin orang-orang kampung sampai rame, Mas!" seru istriku. 

Akupun tertunduk lesu. Narasi gosip, biasanya lebih sadis daripada kejadian sebenarnya. Ya Tuhan, sungguh tega orang-orang kampung menyebar gosip tentangku. Padahal aku bukan tokoh atau artis di kampung ini. 

Dan yang lebih parah, kenapa istriku bisa sampai tahu. Ya ampun, apa dia juga tahu. Jika aku bukan hanya berbicara genit, tetapi sampai minta nomor handphone dan mengirim pesan rayuan dan ajakan ke bioskop pada Mbak Nila. 

Padahal kan wajar, aku tak tahu jika dia istri Mas Marwoto yang baru datang dari kampung lain, kupikir adik atau kerabatnya saja. Yang justru tak wajar, ternyata istriku tahu dan begitu marah. "Aduh biyung!"

"Pokoknya, pintu kamar aku blokir! Mas tidur di ruang tamu malam ini, besok, besoknya lagi dan besok seterusnya!" seru istriku.

"Sampe kapan, Dek?" dengan wajah memelas, aku bertanya. Berharap ia luluh dan kasihan pada suaminya ini.

"Sampe jumpa lagi!" teriak istriku, seraya membanting pintu kamar. 

Sepanjang malam aku merenung, apa yang salah dengan kelakuanku. Teringat kata-kata seorang teman, jika mulutku ini genit dan mataku jelalatan kalau lihat perempuan cantik. Padahal, berkat mulut dan mataku ini pula aku mendapatkan istriku sekarang. 

"Aku benar-benar tak habis pikir, kira-kira apa yang salah?"

**

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

Indra Rahadian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun