Hari itu, aku menyerap semua kesedihan dan duka yang ia rasakan. Menemani hasratnya membenamkan luka pada setiap tumpahan air mata yang larut dalam genangan air terjun.Â
Hatiku berkata, "perempuan, tak layak mengalirkan air mata hanya untuk seorang lelaki."Â
Sejak saat itu, kami menjadi sangat dekat secara istilah. Nama Arif sudah hilang ditelan gelak tawa dan kata-kata mesra kami. Setiap hari, hanya ada cerita asmara tentang kami.
"Rina, bersamaku kamu tak perlu menangis lagi. Macam-macam kebahagiaan, akan kita raih kelak."Â
Entah apa yang yang merasuki pikiranku saat itu. Aku berkata, seolah kami sudah benar-benar dewasa. Padahal bertemu Amai saat mengantarnya pulang saja, dadaku masih berdebar-debar.
Dua tahun lamanya, kami membina hubungan sebagai sepasang kekasih. Hingga, masa itu tiba. Masa dimana lembaran klise kehidupan, mulai terbuka satu demi satu. Dan jiwa mudaku, belum siap menerima sebuah tanggung jawab.Â
"Kanda, Amai dan Apak berniat menjodohkan aku," ucapnya.Â
"Kandak rang tuo, kanda bisa apo?" keluhku.Â
Hari itu hatiku remuk dibuatnya. Ingin rasanya berteriak bersama derasnya air terjun. Lembah Anai, tempat biasa kami menghabiskan waktu di akhir pekan.Â
Hingga berhari-hari, aku merenung memikirkan hubungan kami. Dan aku tiba pada sebuah keputusan. Merantau, menjadi orang dan pulang kembali untuk meminang Rina. Itulah tekadku di masa lalu.Â
Tanpa pamit, aku meninggalkan Padang Panjang. Aku tak mau melihat air mata Rina mengalir di hadapanku. Itu hanya akan membuatku semakin lemah berjuang mengarungi kehidupan.Â
"Padamu, aku akan bermuara," ucapku lirih dari balik jendela bus antarkota yang tengah membawaku ke Jakarta.Â