"Ajo, bisa bantu? Eh, Uda. Masya Allah, kamu Edo kan?" Perempuan cantik itu menyapa sambil menuntun motor di hadapanku.Â
"Kenapo Hondamu?" tanyaku.Â
Cukup grogi aku dibuatnya. Ia adalah Rina, siswi tercantik di sekolah. Tiga tahun kami satu sekolah, baru kali ini aku begitu dekat dengannya secara harfiah.Â
Aku sama sekali tak mengerti tentang mesin motor. Namun, demi berlama-lama dengan Rina. Aku bertingkah seolah bisa membantu. Kucoba mengotak-atik motor yang biasa kami sebut Honda ini. Kucabut dan ku tiup-tiup busi, lalu ku gosokkan ujungnya pada celana.Â
Tak lama, aku stater motor itu dan tak disangka bisa menyala. Dalam hatiku berkata, "Ah, harusnya kubawa saja ke bengkel, agar dapat lebih lama bersama Rina."
Kami berkendara bersama sampai memasuki Padang Panjang, dan berpisah tanpa kesan. Beruntung, kami bertukar nomor handphone di Lembah Anai tadi.Â
Namun, aku tak yakin ia akan menghubungi lebih dahulu. "Siapalah hamba, hanya butiran debu."Â
Seminggu kemudian, perut lapar membawaku berkendara sepanjang jalan Bahder Johan. Tepat di sebuah rumah makan, aku melihat Rina tengah menangis. Ia tidak sendirian, aku mengenal lelaki yang sedang berusaha menenangkannya. Ia adalah Arif teman baikku di kelas satu.Â
Entah apa yang menarikku ke dalam permasalahan mereka. Karena spontan saja aku menghampiri pasangan kekasih yang sedang bertengkar. Dan Rina, terburu-buru naik di belakang motorku saat melihatku mendekat.Â
Sore itu, ia memelukku sepanjang jalan. Aku dapat merasakan air matanya mengalir di belakang. Tak terasa, kami sudah jauh meninggalkan Padang Panjang ke arah lembah Anai. Karena sudah terlalu jauh, kami akhirnya berhenti di sekitar air terjun Tujuh Tingkat.Â
Rina mulai bercerita tentang kisahnya bersama Arif, kemudian ia memutuskan mengakhiri hubungan dengannya hari itu juga. Aku tak berani berbicara apa-apa.Â