"Jangan bilang, sendirian ke sini?" basa basiku agar dia tak banyak melempar aib-aibku ke khalayak.Â
Ninik meletakan telunjuk di bibir manisnya, ia berkata pelan sekali, "ih, jangan berisik."
Gara-gara Kiki yang berlagak mak comblang dadakan. Dua hari setelah pesta pernikahan teman, aku rajin menghubungi Ninik via chat. Sekedar usaha. Meskipun sambutan Ninik biasa-biasa saja.Â
Tak disangka, Ninik mengajakku malam mingguan di taman kota. Entah ada angin apa. Yang pasti, ia memang sedang jomlo juga. Hal itu kuketahui dari Kiki dan hasil stalking di media sosialnya.Â
Tak terasa sudah setahun, Ninik menjadi satu-satunya perempuan yang dekat denganku. Bahasa chat kami, tidak lagi menyapa dengan nama masing-masing. Melainkan "aku dan kamu" meski sesekali aku memanggilnya dengan panggilan sayang.Â
"Ay, kamu jangan lupa bangun pagi. Kita jadi joging di Senayan,kan?" ucapku.Â
Ninik menjawab, "pastilah, kangen keringetan bareng sama kamu."Â
Kami terbiasa berolahraga bersama, kadang joging atau mengikuti kegiatan maraton bersama. Tiada akhir pekan tanpa kehadiran Ninik. Tanpa kata-kata mesra, kami menjalin hubungan dekat.Â
Matahari semakin terik, pagi segera berlalu. Dan kami duduk di bawah pohon untuk beristirahat. Aku mengeluarkan kotak cincin berwarna biru dihadapan Ninik. Di hari itu juga aku melamarnya.Â
Ninik berkata, "tentu aku bersedia." Ia bahkan mengambil sendiri cincin itu dan memasang tepat di jari manisnya.Â
Namun, dengan syarat dan ketentuan berlaku. Ia harus meraih mimpinya dahulu. Proposal lamaranku kalah cepat dengan pemberitahuan beasiswa S3 di London. Mimpi yang di perjuangkan Ninik sejak dua tahun lalu.Â