Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Curahan Hati Mono

1 Mei 2021   11:59 Diperbarui: 1 Mei 2021   12:00 1307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Curahan Hati Mono (Foto: SJJP Via Pixabay)

"Tak ada yang mustahil di dunia ini, semua hanya perkara usaha dan waktu."

Kata-kata mutiara itu, cukup membuatku bersemangat. Terlebih, menjelang acara keluarga di hari besar. Ragam pertanyaan klasik pasti akan terlontar. Misalkan, hari raya Idul Fitri dilaksanakan virtual. Tetap saja, pertanyaan-pertanyaan seputar jodoh akan bertebaran. Semoga saja, aku sempat menekan tombol mute. 

Kata orang, jodoh tak akan lari dikejar. Nah, aku terbiasa dikejar-kejar perempuan. Meski sekedar ditagih uang kost bulanan. Tapi sayang, Nyonya pemilik kost telah bersuami. Dia selalu bilang, "Dik Mono sih, lahirnya telat," gombalan maut untukku yang sering telat bayar. 

Teman-teman bilang, aku mengalami trauma percintaan. Duh, mereka terlanjur hafal perihal kisah cintaku di masa lalu. Ditinggal nikah Lidya, pas lagi sayang-sayangnya. Dan sejak saat itu "label" jomlo melekat pada diriku. 

Ada yang bilang jika jodohku belum lahir. Katanya, kakek-kakek saja bisa dapat gadis belia. Yang paling sadis, kalau ada yang bilang, jodohku sudah diambil orang. Lebih gila, sudah dipanggil yang Mahakuasa. 

Kupikir, "Mahakuasa" itu istilah untuk orang yang punya duit banyak. Berbulan-bulan aku lembur untuk mendapat uang tambahan. Beli motor baru atau mobil sekalian. Tiba aku sedikit makmur. Ternyata, tak ada satupun perempuan yang benar-benar mencintaiku apa adanya. 

Pernah suatu ketika, kuajak nikah perempuan yang cukup dekat denganku. Maklum, di umur kepala tiga cukup riskan untuk sekedar pacaran. Rata-rata, jawaban mereka sama. "Maaf, kamu terlalu baik." Masa iya, aku mesti jadi orang jahat agar bisa jadi suaminya. 

"Mono, Si Calvin mau nikah. Undangan lihat Wa. Jangan telat, acaranya cuma dua jam," suara Kiki temanku, terdengar dari pesan suara. 

"Iye!" kubalas dengan rekaman suara juga. 

Kiki satu-satunya teman yang selalu memberi kabar dan kegiatan terbaru alumni sekolah kami. Karena, aku sejak lama keluar dari grup manapun di media sosial apapun. 

Satu persatu teman menikah, kadang yang lebih berisik adalah teman-teman yang senasib denganku. Bedanya, mereka punya pacar dan aku tidak. 

Hari itu, aku hadir menjelang injury time. Niatnya, agar tak perlu banyak berinteraksi dengan teman seangkatan. Cukup salaman dengan pengantin, foto, makan dan pulang. 

"Hehey, perjaka terakhir kita sudah tiba."

Sial, kenapa mereka masih betah di pesta pernikahan orang. Niat menghindar, tak disangka malah terjebak di keramaian. 

Beruntung tak bertemu mantan. Pasti keki rasanya, datang sendiri ke acara pernikahan teman seangkatan. Dan dia pasti datang bawa gandengan. Huft, syukurlah. 

"No, Lidya baru saja pulang. Dia datang sama suami barunya, loh," ucap Kiki. 

"Hah?" aku kaget mendengar kata "suami baru" memang kemana yang lama?

"Yee, mantanmu sudah tiga kali kawin cerai, Mono," Kiki tak ada akhlaq, dia malah gibah di acara pernikahan. 

Wah, aku tak pernah stalking mantan. Mendengar ucapan Kiki, tampaknya aku harus menyesali itu semua. Setelah ini, mungkin aku akan mencoba kegiatan unfaedah tersebut. 

"Mono Bin Sueb? yang dulu dijemur guru di lapangan basket sambil telanjang, kan?" tanya perempuan yang baru saja tiba. 

Mono memperhatikan perempuan itu dengan seksama, bisa-bisanya dia bahas aib di tempat seramai ini. Lama mengingat-ingat, akhirnya ia mengenali sosok manis yang baru saja tiba. 

"Bisa ae, Nik. Aku saja sudah lupa," jawabku. 

Aini Ni'matullah. Di sekolah dahulu, kami biasa memanggilnya Ninik. Tidak banyak berubah paras cantiknya dari dulu. Benar-benar nikmat memandang wajah manisnya. 

"Jangan bilang, sendirian ke sini?" basa basiku agar dia tak banyak melempar aib-aibku ke khalayak. 

Ninik meletakan telunjuk di bibir manisnya, ia berkata pelan sekali, "ih, jangan berisik."

Gara-gara Kiki yang berlagak mak comblang dadakan. Dua hari setelah pesta pernikahan teman, aku rajin menghubungi Ninik via chat. Sekedar usaha. Meskipun sambutan Ninik biasa-biasa saja. 

Tak disangka, Ninik mengajakku malam mingguan di taman kota. Entah ada angin apa. Yang pasti, ia memang sedang jomlo juga. Hal itu kuketahui dari Kiki dan hasil stalking di media sosialnya. 

Tak terasa sudah setahun, Ninik menjadi satu-satunya perempuan yang dekat denganku. Bahasa chat kami, tidak lagi menyapa dengan nama masing-masing. Melainkan "aku dan kamu" meski sesekali aku memanggilnya dengan panggilan sayang. 

"Ay, kamu jangan lupa bangun pagi. Kita jadi joging di Senayan,kan?" ucapku. 

Ninik menjawab, "pastilah, kangen keringetan bareng sama kamu." 

Kami terbiasa berolahraga bersama, kadang joging atau mengikuti kegiatan maraton bersama. Tiada akhir pekan tanpa kehadiran Ninik. Tanpa kata-kata mesra, kami menjalin hubungan dekat. 

Matahari semakin terik, pagi segera berlalu. Dan kami duduk di bawah pohon untuk beristirahat. Aku mengeluarkan kotak cincin berwarna biru dihadapan Ninik. Di hari itu juga aku melamarnya. 

Ninik berkata, "tentu aku bersedia." Ia bahkan mengambil sendiri cincin itu dan memasang tepat di jari manisnya. 

Namun, dengan syarat dan ketentuan berlaku. Ia harus meraih mimpinya dahulu. Proposal lamaranku kalah cepat dengan pemberitahuan beasiswa S3 di London. Mimpi yang di perjuangkan Ninik sejak dua tahun lalu. 

Setahun setelah Ninik meninggalkan Indonesia. Dia berkata, "sabar ya, masih dua tahun lagi." Kami benar-benar saling merindukan. Perasaan yang jarang kualami sejak dua belas tahun lalu. 

Kami menjalani hubungan jarak jauh dan berbagi kenangan di masa lalu. Kenangan indah yang begitu dekat seperti kemarin.

"Baru saja berjodoh, sudah harus berpisah."

Bila ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Pertemuan baru atau dipertemukan kembali, tak ada yang tahu. Usah risau saat kehilangan, karena merasa kehilangan itu normal. Setidaknya, kita pernah "merasa" memiliki sesuatu. 

Terkadang, tenggelam dalam kenangan begitu mengasyikkan. Namun, jangan sampai lupa kembali ke permukaan. Itulah kehidupan nyata bersamamu kelak. 

"Duh, lebaran sebentar lagi dan kamu belum kembali."

**

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

Indra Rahadian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun