Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

RA Kartini, Pernikahan Dini dan Mimpi yang (Belum) Sempurna

20 April 2021   22:09 Diperbarui: 24 April 2021   11:43 4088
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi RA Kartini /Gambar: subpng.com

"Saat membicarakan orang lain, Anda boleh saja menambahkan bumbu. Tapi pastikan bumbu yang baik." (RA Kartini, 1879 - 1904)

BILA RA Kartini hidup di masa kini, mungkin beliau adalah influencer paling bawel di media sosial. Betapa tidak. Kian banyak perempuan yang menyia-nyiakan masa muda, hanya untuk sebuah sensasi tanpa esensi. Di saat sebagian perempuan lain, membutuhkan dukungan untuk keluar dari belenggu dan eksploitasi di kanan-kiri. 

Karena gaya hidup hedonisme di media sosial kian memprihatinkan. Alih-alih memotivasi, banyak kaum perempuan terjebak dalam eksploitasi, bullying dan pelecehan seksual. 

Lebih buruk lagi, saat kaum perempuan kerap menjadi target kekerasan fisik. Seperti yang dialami perawat perempuan di rumah sakit swasta di Palembang. Tindakan pecundang akibat emosi sesaat, kilah pelaku. 

Namun jutaan orang tidak menyadari. Kasus kematian ibu paska bersalin, dan hilangnya kesempatan memperoleh pendidikan tinggi bagi perempuan. Akibat pernikahan dini atau pernikahan dipaksakan. Dimana hal itu, turut menyumbang angka kematian ibu dan angka perceraian setiap tahun di Indonesia. 

Angka kematian Ibu pada tahun 2015, mencapai 305 jiwa per 100.000 kelahiran. (Sumber: Profil Kesehatan Indonesia 2019/Kemenkes RI)

Mengambil studi kasus pada kematian ibu bersalin di Kabupaten Cirebon. Berdasarkan tingkat pendidikan; dari 49 Kematian Ibu, terdapat 2 (tidak tamat SD), 24 (tingkat SD), 10 (tingkat SMP), 13 (Tingkat SMA). Dapat disimpulkan bahwa, tingkat pendidikan menopang tingkat kesehatan Ibu. (Sumber: Kajian Partisipasi Organisasi Perempuan Dalam Menurunkan Angka Kematian Ibu di Provinsi Jawa barat, tahun 2016. /Kemen PPPA RI)

Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2018 BPS. Angka perkawinan anak di Indonesia, mencapai 1,2 juta. Dari jumlah tersebut, proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin sebelum umur 18 tahun adalah 11,21% dari total jumlah anak, artinya sekitar 1 dari 9 perempuan usia 20-24 tahun menikah saat usia anak. (Sumber: Siaran Pers Nomor: B-018/Set/Rokum/MP01/02/2020 /Kemen PPPA RI)

Pernikahan dini, tingkat pendidikan dan kesetaraan gender bagi perempuan. Terkait erat dengan tingkat kesehatan. RA Kartini akan terheran-heran melihat fakta, bahwa nasib perempuan Indonesia belum sepenuhnya lepas dari belenggu yang sama pada masanya. Baik dilihat dari tingkat pendidikan dan kesehatan. 

Sayangnya, beliau tutup usia di masa muda. RA Kartini melepaskan mimpi dan cita-cita dalam kondisi yang masih belia. Pada tahun 1904, di usia 25 tahun. Yakni pada hari ke-4 paska proses persalinan. Namun harapan dan gagasan luhur beliau, tetap abadi dan membumi sepanjang zaman. 

Pre-eklampsia di duga menjadi penyebab kematian beliau. Padahal usia beliau saat menikah sudah genap 24 tahun. Dimana resiko tinggi persalinan lebih banyak dialami oleh ibu hamil di usia < 21 tahun dan > 35 tahun. 

Pre-eklampsia, mungkin penyebab utama kematian Ibu. Namun, pernikahan dini adalah pintu masuknya. 

Sekedar catatan, RA Kartini adalah tokoh perempuan Jawa yang berpengaruh di masa politik etis Hindia Belanda (1900 - 1942). Dimana Kisah hidup dan perjuangan beliau, mendapat perhatian J.H Abendanon. Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda periode 1900 - 1905 inilah yang menyusun buku dan surat-surat beliau.

Pahlawan perempuan nasional, yang hidup di era yang sama. Mungkin mendapatkan momentum lebih baik untuk mengenyam pendidikan dan membangun sekolah bagi kaum perempuan. Bahkan lebih dari itu, berjuang dengan mengangkat senjata untuk membebaskan bangsa. 

Namun tidak untuk RA Kartini. Beliau menghadapi pergulatan yang cukup berat dalam kekangan keluarga ningrat yang feodal. Meskipun berhasil mendirikan sekolah wanita pada tahun 1903 dan mendapat dukungan pemerintah kala itu, perjuangan beliau belumlah tuntas. 

Perempuan di masa kini, meskipun menikmati akses pendidikan dan kesehatan yang lebih baik. Namun, dukungan keluarga adalah yang paling utama. 

142 tahun setelah kelahiran pejuang emansipasi. Masa-masa sulit yang dialami oleh beliau, seharusnya tidak lagi terdengar. Ironisnya tak jauh beda. 

Hingga artikel ini ditayangkan, mungkin di beberapa daerah tengah terjadi pernikahan anak perempuan di bawah umur. Merenggut masa muda, dengan dalih kebutuhan ekonomi, adat atau akibat pergaulan bebas. 

RA Kartini mengalami pernikahan yang dipaksakan. Beliau bahkan tidak dapat memilih pasangan hidupnya sendiri. Bila perempuan di masa kini memiliki media sosial untuk menyuarakan kegelisahan. Maka di masa lalu, RA Kartini menuangkan kegelisahan tersebut pada jurnal surat kabar, buku catatan dan surat-surat kepada teman-teman di Belanda. 

Buku dan surat-surat beliau yang disusun oleh J.H Abendanon, sukses menjadi inspirasi bagi kaum priyayi dan terpelajar yang mengenyam pendidikan barat. Bagaimana kepedulian terhadap pendidikan kaum perempuan semakin tinggi, seiring pergerakan nasional yang dicetuskan Boedi Oetomo pada tahun 1908. 

Hingga kongres perempuan Indonesia pertama, terlaksana pada tahun 1928 dan satu tahun berselang dilaksanakan kongres wanita Indonesia pada tahun 1929. Dimana, lagu Ibu Kita Kartini di perdengarkan. 

Kesalahan terbesar generasi setelahnya, mungkin menempatkan RA Kartini terlalu melangit. Untuk perjuangan, gagasan dan cita-cita yang membumi. Dan lupa pada pergulatan dan kekangan yang beliau alami sampai akhir hayat. Bahkan meng"Kartini"kan tokoh pahlawan perempuan lain di era yang sama atau di era sebelumnya secara serampangan. 

Misalkan menyebut Pahlawan Nasional Malahayati dan Cut Nyak Dhien sebagai Kartini dari Aceh. Dewi Sartika sebagai Kartini Jawa Barat. Atau Maria Walanda Maramis sebagai Kartini dari Minahasa.

Hal-hal semacam itu malah akan menggerus semangat, mimpi-mimpi, perjuangan serta gagasan RA Kartini itu sendiri. Memperbandingkan, sampai-sampai memicu perdebatan yang tidak perlu. Akan mengemuka seiring pesatnya akses informasi. 

Inspirasi dan semangat Ibu Kita Kartini, lebih berharga dan bermanfaat untuk menunjang kehidupan perempuan di masa kini. Kesadaran akan pendidikan, perlindungan fisik dan mental, serta akses kesehatan perempuan, harus terus ditingkatkan. Bukan hanya oleh kaum perempuan. 

Selamat Hari Kartini, untuk perempuan Indonesia. Sehat senantiasa.

"Door Duisternis tot licht."

--

Referensi:

  • Wikipedia
  • Kemenpppa.go.id
  • Bps.go.id
  • Kemenkes.go.id
  • Kompas.com

Indra Rahadian 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun