Riak sentimen warganet yang bersimpati pada etnis Rohingya, turut memojokkan junta militer. Alih-alih menghakimi rakyat Myanmar. Namun, kemanusiaan di atas segalanya. Bukankah begitu?
Keterlibatan Indonesia
Indonesia, mau tak mau harus memberikan respon terhadap gejolak politik negara satu region tersebut. Langkah bersama ASEAN pilihan satu-satunya untuk tampil dan bersikap.Â
Masalah terjadi, karena sikap negara-negara ASEAN justru tidak bulat. Belum ada pernyataan menolak kudeta militer, maupun merestui.Â
Langkah untuk memulai negosiasi pada pemerintah junta militer terkait pemilu ulang satu tahun ke depan, dikecam rakyat Myanmar. Indonesia terjebak pada situasi serba salah, minim kepentingan tapi sesak tuntutan.Â
Investasi Indonesia di Myanmar belum signifikan. Terhitung baru pada tahun 2013, arus hubungan ekonomi dua negara mulai menggeliat. Kerjasama di bidang militer, baru menjadi wacana. Kondisi politik di negara pagoda emas masih saja labil.Â
Tahun 2015, Aung San Suu Kyi melalui Liga Nasional untuk Demokrasi berhasil keluar sebagai pemenang pemilu di Myanmar. Namun, konstitusi negara tersebut tidak merestui Suu Kyi menjabat presiden. Â
Rezim militer masih memegang kendali pada urusan dalam dan luar negeri. Pemilu demokratis, sekedar untuk menarik investasi negara-negara maju. Terbukti, Suu Kyi hampir tak bersuara terkait polemik etnis Rohingya.
Terlepas dari sejarah konflik, rasanya janggal jika penerima Nobel Perdamaian tahun 1991 itu, tak dapat berbuat apa-apa pada konflik lokal yang berkembang menjadi isu rasial dan agama. Tentu ada tekanan militer.
Kondisi serupa pernah dialami Indonesia, setelah era demokrasi terpimpin yang berganti orde baru. Militer memegang kekuasaan selama lebih dari 32 tahun, sebelum dicabutnya doktrin Dwi Fungsi ABRI.
Bagi Indonesia, siapapun pemerintah yang berkuasa di Myanmar, tidak berpengaruh terlalu besar bagi politik luar negeri. Namun bagi kemanusiaan, tentu solusi damai tanpa kekerasan adalah pilihan.Â