PROTES, kata yang memicu kekerasan di negeri seribu pagoda. Korban jiwa tak terhindarkan, menyusul gelombang protes anti kudeta oleh para demonstran.Â
Tindakan di luar nalar yang mengabaikan kemajuan zaman. Asia Tenggara, kembali menjadi medan tempur ideologi. Junta militer dan demokrasi.Â
Menjadi kelaziman bagi rezim militer, untuk meredam aksi protes rakyat sipil bersenjata poster, spanduk dan pamplet dengan kekerasan dan peluru.Â
Pada tahun 1988 (8888 Uprising) protes serupa menelan korban lebih dari 3.000 jiwa dan pada tahun 2007,(Revolusi Saffron), tak jauh beda. Meskipun tahun ini, ada upaya untuk membenturkan rakyat sipil dengan rakyat sipil melalui demonstrasi pro kudeta. Namun, tidak berhasil.Â
Belum tuntas konflik rasial, antara rakyat Myanmar dengan etnis minoritas. Kini situasi lebih rumit, disulut oleh aksi kudeta militer di masa pandemi. Arogan, represif dan politis, sungguh tidak mencerminkan dunia militer di masa kini.Â
Maksud hati ingin berkuasa, ternyata rakyat tak mau dikendalikan pemegang senjata.Â
Tudingan sempat diarahkan pada China yang terkesan mendukung kudeta militer. Dalam situasi ketegangan di Laut China Selatan.Â
Menolak untuk mengunakan frasa "kudeta militer," China lebih memilih frasa "reshuflle kabinet" untuk menilai situasi di Myanmar.
Bukan tanpa alasan, junta militer Myanmar lebih condong kepada China, sementara kaum pro demokrasi lebih menguntungkan untuk USA. Lebih dari itu, hegemoni militer di Myanmar memang sudah mendarah daging.Â
Di era keterbukaan informasi, sulit bagi junta militer untuk menyembunyikan pelanggaran HAM pada demonstran. Dan cekal pada penyedia jaringan internet di Myanmar, tak akan menghentikan arus informasi seputar kengerian di negeri tanah emas.Â
Demonstran non militer pro kudeta, kalah nyaring dengan demonstran tiga jari. Tak ayal, kutukan warga dunia mengalir deras pada Min Aung Hlaing.Â
Riak sentimen warganet yang bersimpati pada etnis Rohingya, turut memojokkan junta militer. Alih-alih menghakimi rakyat Myanmar. Namun, kemanusiaan di atas segalanya. Bukankah begitu?
Keterlibatan Indonesia
Indonesia, mau tak mau harus memberikan respon terhadap gejolak politik negara satu region tersebut. Langkah bersama ASEAN pilihan satu-satunya untuk tampil dan bersikap.Â
Masalah terjadi, karena sikap negara-negara ASEAN justru tidak bulat. Belum ada pernyataan menolak kudeta militer, maupun merestui.Â
Langkah untuk memulai negosiasi pada pemerintah junta militer terkait pemilu ulang satu tahun ke depan, dikecam rakyat Myanmar. Indonesia terjebak pada situasi serba salah, minim kepentingan tapi sesak tuntutan.Â
Investasi Indonesia di Myanmar belum signifikan. Terhitung baru pada tahun 2013, arus hubungan ekonomi dua negara mulai menggeliat. Kerjasama di bidang militer, baru menjadi wacana. Kondisi politik di negara pagoda emas masih saja labil.Â
Tahun 2015, Aung San Suu Kyi melalui Liga Nasional untuk Demokrasi berhasil keluar sebagai pemenang pemilu di Myanmar. Namun, konstitusi negara tersebut tidak merestui Suu Kyi menjabat presiden. Â
Rezim militer masih memegang kendali pada urusan dalam dan luar negeri. Pemilu demokratis, sekedar untuk menarik investasi negara-negara maju. Terbukti, Suu Kyi hampir tak bersuara terkait polemik etnis Rohingya.
Terlepas dari sejarah konflik, rasanya janggal jika penerima Nobel Perdamaian tahun 1991 itu, tak dapat berbuat apa-apa pada konflik lokal yang berkembang menjadi isu rasial dan agama. Tentu ada tekanan militer.
Kondisi serupa pernah dialami Indonesia, setelah era demokrasi terpimpin yang berganti orde baru. Militer memegang kekuasaan selama lebih dari 32 tahun, sebelum dicabutnya doktrin Dwi Fungsi ABRI.
Bagi Indonesia, siapapun pemerintah yang berkuasa di Myanmar, tidak berpengaruh terlalu besar bagi politik luar negeri. Namun bagi kemanusiaan, tentu solusi damai tanpa kekerasan adalah pilihan.Â
Jalan Panjang Demokrasi Myanmar.Â
Bila eksodus warga Myanmar ke luar negeri semakin besar, justru akan membuat pengaruh junta militer semakin kuat. Demonstran anti kudeta akan ditahan dan dihabisi.Â
Perlawanan sipil akan mengendap dan stagnan. Dan Myanmar (masih) akan kembali pada kendali pemerintahan militer sebelum hadirnya Aung San Suu Kyi. Langkah mundur demokrasi di negeri pagoda emas.
USA melalui PBB hanya akan menjatuhkan sanksi-sanksi ekonomi dan diplomatik, alih-alih terus mengecam. Pilihan untuk menerjunkan penjaga perdamaian ke Myanmar, belum mengemuka. Bila itu yang terjadi, maka China dengan tangan terbuka akan memberikan bantuan. Dalih melindungi aset mereka, sudah lebih dari cukup.
Satu tahun mendatang, tak akan ada perubahan berarti. Meski gelombang demonstrasi semakin kuat. Kecuali, timbul pemberontakan bersenjata dari milisi-milisi di area perbatasan. Atau, PBB mengirim tentara penjaga perdamaian dalam waktu dekat. Â
Liga Nasional untuk Demokrasi (LND), sepertinya harus mencari figur lain. Lima tahun kekuasaan semu Aung San Suu Kyi, terbukti tidak dapat merangkul pejabat militer untuk mengembangkan demokrasi dan telah gagal mengikis pengaruh militer yang solid.Â
Kata "rekonsiliasi," mungkin belum ada dalam kamus bahasa Myanmar, dan mereka harus mulai menerapkan kata tersebut. Nasib rakyat Myanmar ada di tangan mereka sendiri. Meski saat ini, tangan rezim militer masih enggan memberikan kedaulatan.Â
**
Referensi:Â
- Wikipedia
- Kompas.com
- CNN
Indra Rahadian, 18 Maret 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H