Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ergo Sumiati

12 Maret 2021   20:59 Diperbarui: 12 Maret 2021   21:05 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Cerpen: Ergo Sumiati (Foto: StockSnap via Pixabay)

TERIK matahari, membelai ubun-ubun di kawasan pertokoan pasar Johar. Tenda biru pedagang VCD bajakan, berderet sepanjang jalan. Di ujung jalan, kios buku Kang Dirja baru saja buka. Adalah Ergo, anak gadis pemilik kios yang tengah sibuk menyusun buku di lapak bapaknya. 

Dua jam setelah buka, belum ada satupun pembeli yang mampir. Hanya ada Ergo dan secangkir matcha latte, duduk santai di dalam kios. Membaca buku berjudul Madilog karya Tan Malaka. Pada setiap halaman, Ia terus mengerutkan dahi. 

Tiba datang preman pasar merangkap juru parkir, bernama Lukman. Dengan santai membawa kopi di gelas plastik, Lukman pun masuk ke kios dan menemui Ergo. 

"Neng, bapakmu mana? udah dua bulan nutup kios," tanya Lukman. 

"Belum ada yang beli, Bang. Besok aja balik lagi," jawab Ergo.

"Samber gledek! ditanya apa, jawabnya apa!" omel Lukman. 

Ergo meletakan buku tebal yang dibaca pada rak belakang kios, ia mengambil bangku plastik di belakang meja kayu dan meletakan bangku itu di depan Lukman. 

"Biasanya narik jatah, Bang," ucap Ergo. 

Lukman duduk pada bangku plastik, sambil tangannya memilih-milih buku untuk dibaca. Namun, tak ada buku yang menarik untuknya. Lukman malah mencabut kretek dari saku celana dan menyalakan api. 

"Kang Dirja sakit atau ada urusan, Neng?" kembali Lukman bertanya. 

"Sakit jiwa, Bang," jawab Ergo. 

Lukman bangkit dari duduk dan mendekat pada Ergo. Ia berkata dengan kesal, "kalau ngomongin orang tua, yang bener luh! durhaka baru rasa!"

"Beneran, Bang. Ngapain saya bohong," jawab Ergo. 

Lukman kembali duduk dan membuang kretek di tangan. Ia belum percaya pada jawaban Ergo. Namun ia tahu betul, jika Ergo tak pernah berbohong atau bercanda. 

"Cerita yang bener, Neng. Dua bulan lalu, bapakmu masih waras," ucap Lukman. 

Ergo melepas kacamata tebalnya dan menarik nafas panjang. Mengingat-ingat dialog dengan bapak, sehari sebelum ke rumah sakit jiwa di Grogol. Iapun, mulai bercerita. 

Bapak baik-baik saja sebelum mengenal internet. Dia paling anti dengan teknologi informasi. Katanya, orang-orang di dunia maya bukan orang-orang asli. Mereka, memerankan figur lain agar bisa diterima. 

Sejak Ibu meninggal, bapak malah menghabiskan waktu seharian di dalam jaringan. Mengikuti berita-berita politik dan kajian-kajian berat. 

Beliau sibuk mencerahkan orang-orang dalam internet itu. Namun, tak begitu berhasil. Kebenaran dan pedoman yang dipegang bapak, tidak sesuai dengan pola pikir orang-orang di sana. Beliau, frustasi.

Kata bapak, warga dunia maya, bukan warga dunia nyata. Mereka bisa menjadi dua, tiga, bahkan seratus orang yang sama dalam waktu yang sama. Mereka tidak mengenal santun pada sesama, tidak ada rasa hormat dan menghormati. Beliau, depresi.

Lukman mendengarkan cerita dengan seksama, mencoba mencerna istilah dan pilihan kata yang diucapkan Ergo. 

Suatu ketika, bapak meracau tengah malam. Beliau berkata, kalau manusia sudah semakin ruwet. Membagi kepribadian pada dunia nyata dan maya. Tawa dan tangis dalam waktu yang sama. Melelahkan, tapi mereka menikmatinya. Beliau, mengalami ansietas. 

Mereka menolong orang yang jauh di sana, sedangkan kesusahan orang dekat tak mau dilihat. Harus viral, baru memberi bantuan. Tapi, saat mendengar tetangga kelaparan. Mereka pura-pura tak tahu. Beliau, menjadi kalap dan mulai mengumpat.

Pesan terakhir beliau, sebelum tak henti meracau adalah soal namaku. Katanya, Ergo Sumiati diambil dari ungkapan Descartes. Beliau sengaja tak memakai Cogito, biar aku tak terlalu banyak berpikir seperti beliau. Karena semakin banyak berpikir, semakin rumit kehidupanku nanti. 

"Emang, namamu apa artinya?" potong Lukman. 

"Aku berpikir, maka itulah aku. Bisa juga berarti, aku berpikir maka aku ada," jawab Ergo. 

 "Jangan terusin ceritanya, tolong. Aku bisa ikutan ruwet, Neng," pinta Lukman.

"Itulah, Bang. Do'akan saja bapak saya cepat sembuh," tutup Ergo. 

Lukman, meneguk tetes terakhir kopi dan menarik nafas. Ia masih belum bisa mencerna cerita Ergo tentang Kang Dirja. 

"Bapakmu pernah bilang, kalau nama saya itu artinya jalan terang, orang bijak dan Nabi. Padahal, jalan hidup saya butek. Boro-boro bijak, bajak iya," ucap Lukman. 

"Mungkin bapak Abang, kasih nama itu niatnya lain?" tanya Ergo. 

"Nah itu. Di KTP dan akta lahir, beda nih nama," jawab Lukman.

Lukman merogoh kantung celana dan mengeluarkan dompetnya. Ia mengambil KTP dan memperlihatkan pada Ergo. 

Dengan antusias, Lukman berkata, "nama di akta lahir LukeMan, di KTP jadi Lukman. Ibu saya cerita, kalau bapak penggemar film koboi dulunya."

Mendengar perkataan Lukman, Ergo hanya tersenyum. Lebih baik diam, daripada berkata kurang baik. Mungkin Ergo sudah dapat menerka, makna nama yang diberikan bapaknya Lukman. 

**

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

Indra Rahadian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun