"Sakit jiwa, Bang," jawab Ergo.Â
Lukman bangkit dari duduk dan mendekat pada Ergo. Ia berkata dengan kesal, "kalau ngomongin orang tua, yang bener luh! durhaka baru rasa!"
"Beneran, Bang. Ngapain saya bohong," jawab Ergo.Â
Lukman kembali duduk dan membuang kretek di tangan. Ia belum percaya pada jawaban Ergo. Namun ia tahu betul, jika Ergo tak pernah berbohong atau bercanda.Â
"Cerita yang bener, Neng. Dua bulan lalu, bapakmu masih waras," ucap Lukman.Â
Ergo melepas kacamata tebalnya dan menarik nafas panjang. Mengingat-ingat dialog dengan bapak, sehari sebelum ke rumah sakit jiwa di Grogol. Iapun, mulai bercerita.Â
Bapak baik-baik saja sebelum mengenal internet. Dia paling anti dengan teknologi informasi. Katanya, orang-orang di dunia maya bukan orang-orang asli. Mereka, memerankan figur lain agar bisa diterima.Â
Sejak Ibu meninggal, bapak malah menghabiskan waktu seharian di dalam jaringan. Mengikuti berita-berita politik dan kajian-kajian berat.Â
Beliau sibuk mencerahkan orang-orang dalam internet itu. Namun, tak begitu berhasil. Kebenaran dan pedoman yang dipegang bapak, tidak sesuai dengan pola pikir orang-orang di sana. Beliau, frustasi.
Kata bapak, warga dunia maya, bukan warga dunia nyata. Mereka bisa menjadi dua, tiga, bahkan seratus orang yang sama dalam waktu yang sama. Mereka tidak mengenal santun pada sesama, tidak ada rasa hormat dan menghormati. Beliau, depresi.
Lukman mendengarkan cerita dengan seksama, mencoba mencerna istilah dan pilihan kata yang diucapkan Ergo.Â