Suatu ketika, bapak meracau tengah malam. Beliau berkata, kalau manusia sudah semakin ruwet. Membagi kepribadian pada dunia nyata dan maya. Tawa dan tangis dalam waktu yang sama. Melelahkan, tapi mereka menikmatinya. Beliau, mengalami ansietas.Â
Mereka menolong orang yang jauh di sana, sedangkan kesusahan orang dekat tak mau dilihat. Harus viral, baru memberi bantuan. Tapi, saat mendengar tetangga kelaparan. Mereka pura-pura tak tahu. Beliau, menjadi kalap dan mulai mengumpat.
Pesan terakhir beliau, sebelum tak henti meracau adalah soal namaku. Katanya, Ergo Sumiati diambil dari ungkapan Descartes. Beliau sengaja tak memakai Cogito, biar aku tak terlalu banyak berpikir seperti beliau. Karena semakin banyak berpikir, semakin rumit kehidupanku nanti.Â
"Emang, namamu apa artinya?" potong Lukman.Â
"Aku berpikir, maka itulah aku. Bisa juga berarti, aku berpikir maka aku ada," jawab Ergo.Â
 "Jangan terusin ceritanya, tolong. Aku bisa ikutan ruwet, Neng," pinta Lukman.
"Itulah, Bang. Do'akan saja bapak saya cepat sembuh," tutup Ergo.Â
Lukman, meneguk tetes terakhir kopi dan menarik nafas. Ia masih belum bisa mencerna cerita Ergo tentang Kang Dirja.Â
"Bapakmu pernah bilang, kalau nama saya itu artinya jalan terang, orang bijak dan Nabi. Padahal, jalan hidup saya butek. Boro-boro bijak, bajak iya," ucap Lukman.Â
"Mungkin bapak Abang, kasih nama itu niatnya lain?" tanya Ergo.Â
"Nah itu. Di KTP dan akta lahir, beda nih nama," jawab Lukman.