Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Tiga Pohon Jeruk

18 Februari 2021   11:30 Diperbarui: 18 Februari 2021   11:43 2442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kisah Tiga Pohon Jeruk/Dokpri

"Ayah, belajar itu sangat melelahkan,"protes Husin.

ADA benarnya, belajar adalah aktivitas melelahkan. Bila mudah, bukan belajar namanya. Belajar berjalan dan bersepeda, tentu mengalami jatuh. Minimal, hampir jatuh. Tak ada sesuatu yang benar-benar instan. Bahkan cara membuat mie instan. 

Ayah menemani Husin belajar, tugas dari sekolah harus diselesaikan malam itu juga. Tak boleh ditunda, jika malas tentu tugas akan semakin menumpuk. "Jangan sampai, tidak naik kelas," ucap Ayah.

Esok pagi, ayah mengajak Husin bersepeda. Menikmati suasana alam desa dengan bahagia. Tawa dan sukacita bermain bersama. 

Ayah, membawa sekantung jeruk untuk dinikmati di perjalanan. Husin suka sekali makan buah-buahan, dan buah jeruk adalah favoritnya. 

"Jangan dimakan dengan bijinya, nanti bisa-bisa tumbuh di kepala," canda Ayah. 

"Tentu tidak, Ayah. Aku tahu biji jeruk untuk ditanam kembali," jawab Husin. 

"Nah, anak pintar. Habiskan jerukmu, mari kita tanam biji-biji jeruk di sini," ucap Ayah. 

Mereka menanam dan menebar biji-biji tersebut di pinggir jalan desa. Husin dan ayah, terlihat senang sekali. Hingga, mereka kembali bersepeda dan pulang ke rumah. 

Suatu ketika, Husin melihat tunas-tunas jeruk terlihat banyak sekali. Husin menceritakan pada ayahnya, tentang apa yang dilihat. Ia bercerita dengan antusias, bagaimana biji-biji jeruk menjadi tunas. 

"Ayah, biji-biji yang kita tanam sudah menjadi tunas," ujar Husin.

"Tentu, kehidupan akan selalu menemukan jalannya," jawab Ayah.

Waktu berlalu, Husin kali ini melihat tunas-tunas jeruk tumbuh lebih tinggi. Iapun segera menceritakan pada Ayah, bagaimana tunas-tunas jeruk tumbuh tinggi. Padahal, tidak ada yang merawat.

"Ayah, tunas-tunas jeruk sudah bertambah tinggi," ujar Husin.

"Tentu, alam merawat kehidupan dan tunas-tunas itu tumbuh dengan baik," jawab Ayah. 

Husin kian bertambah dewasa, dan mulai luput memperhatikan pohon-pohon jeruk yang semakin tumbuh tinggi. Ia mulai sibuk dengan tugas kuliah, hanya seminggu sekali pulang ke desa, tak ada cerita lagi tentang pohon jeruk pada Ayah. 

Lima belas tahun berlalu, setelah Husin dan ayah menanam biji-biji jeruk di pinggir jalan.

Ayah sudah tidak bekerja, menikmati masa tua dengan bercocok tanam di belakang rumah. Menanti Husin yang sudah dewasa, bermain ke rumah bersama keluarga kecilnya. Husin kini, sudah menjadi seorang ayah dan bekerja di kota.

Husin dewasa, kali ini berkunjung bersama istri dan bayi mungilnya. Ia membawa sekantung jeruk dan oleh-oleh dari kota. Berlibur di desa dan mengunjungi orang tua, selalu menjadi pilihan Husin di waktu senggang.

Husin bercerita pada Ayah, bagaimana ia menjalani kehidupan dan bekerja di kota. Kesulitan dan tantangan yang harus dihadapi, serta niatnya untuk berhenti dari pekerjaan dan merawat ayah di desa. 

"Ayah, kehidupan di kota semakin sulit. Haruskah aku menyerah. Biarlah aku dan keluarga tinggal di sini, merawat Ayah," ucap Husin. 

Ayah hanya tersenyum, beliau tak menjawab apa-apa. Malah mengajak Husin untuk bersepeda. Menikmati suasana desa seperti dahulu, saat Husin masih kanak-kanak.

Hingga, mereka tiba pada sebuah tempat. Terdapat tiga pohon jeruk yang berbuah lebat. Tak ada pohon lain di sekitarnya.

"Ayah, inikah pohon jeruk yang kita tanam dahulu?" tanya Husin. 

"Kau ingat bagaimana mereka tumbuh?" Ayah balik bertanya. 

"Dahulu tunas-tunas banyak sekali. Kenapa yang tumbuh besar hanya tiga pohon jeruk," ucap Husin. 

"Alam memilih tunas yang berusaha paling gigih bertahan dan berjuang untuk hidup," jawab Ayah. 

"Lalu, apakah aku harus seperti tiga pohon jeruk ini? bertahan pada kondisi yang tidak menyenangkan," tanya Husin.

Ayah berkata, "Husin anakku, jangan takut gagal atau miskin. Usahamu yang menentukan keberhasilan. Jika kau tidak senang dengan pekerjaanmu, carilah pekerjaan lain yang membuatmu senang."

"Kau bukan pohon, anakku. Maka berjuanglah dengan caramu," tutup Ayah. 

Husin tersenyum, dan merangkul ayah dengan erat. Ia merasa, masih kanak-kanak di hadapan ayah. Kebajikan ayah bukan hanya kata-kata, lebih dari itu adalah teladan.

Tiga pohon jeruk memberikan pelajaran pada Husin. Tidak semua biji dapat menjadi tunas, tidak semua tunas dapat tumbuh tinggi. Dan, tidak semua pohon yang tumbuh dapat berbuah. Perjuangan pohon menentukan kelangsungan hidupnya.

Mereka tidak bisa memilih selain bertahan. Namun Husin bisa memilih dan menentukan, kemana ia akan melangkah setelah tumbuh besar. Diam dan menyerah, bukanlah pilihan.

**

Indra Rahadian /18/02/21

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun