Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Lelaki Laut dan Badai

25 Januari 2021   23:30 Diperbarui: 25 Januari 2021   23:29 998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

LIMA tahun lalu, kapal penarik tongkang batu bara, sandar di dermaga Batu Ampar. Malam itu, angin kencang dan ombak tinggi menghempaskan haluan ke arah barat. 

Nakhoda kapal, memutuskan berlindung ke muara terdekat. Menyelamatkan awak kapal dan sisa muatan yang sudah tumpah ke lautan.

Dari sebuah kedai kopi di tepi dermaga. Marlina mengawasi laju kapal, sudah lima hari tak ada kapal bersandar. Kedai kopi miliknya, sudah rindu pemasukan. 

Hujan, baru saja reda. Tali tambat sudah terikat. Mualim turun ke darat, mencari bantuan. 

Mualim itu, membawa juru mudi yang jatuh sakit, setelah tiga hari dua malam di hajar ombak. 

Melihat hal itu, Marlina berteriak, "hei, tak payah turun. Mantri atau dukun, biarku bawa naik ke kapal."

"Benarke', Ka. Bisa malam ni tiba," jawab sang Mualim.

"Kalau malam ni tak ade', rebahkan di kedaiku saje' lekas," jelas Marlina.

"Boleh la, Ka," ucap sang Mualim.

Mualim membawa juru mudi masuk ke kedai, direbahkan pada dipan bambu beralas tikar. Iapun duduk di sebelahnya.

Mualim itu bernama Bahar, ia meminta dibawakan teh manis hangat, minyak angin, dan selimut untuk juru mudi yang jatuh sakit. 

"Aku, Bahar. Name' kau, Ka?" tanya Bahar.

"Siti Marlina, panggil Siti atau Marlina," jawabnya.

"Name' yang manis, Ka," goda Bahar.

Marlina mengambil cangkir dan bersiap menyeduh teh. Iapun menjawab, "simpan rayuan Abang untuk istri di rumah."

"Apalah, aku masih lajang," ucap Bahar, meyakinkan.

"Tak percaye', pelaut same' polah tingkah semue'," ujar Marlina seraya mengaduk teh hangat.

Marlina juga menghidangkan kopi hitam dan pisang goreng. Mengetahui, lima orang awak kapal tengah berjalan ke arah kedai. Laris manis, dagangannya malam itu.

Bahar, masih saja mencuri pandang padanya. Hampir sebulan lamanya, ia tak melihat sosok perempuan. Terlebih, Marlina sangat menarik. Paras ayu khas Melayu, bola matanya coklat tua. 

"Sendirian nih, jaga warung," tanya salah satu awak kapal.

Mendengar ada awak lain berusaha menggoda Marlina, Bahar tidak terima. Iapun mengomel,"ngopi saje' kau, tak usah banyak cakap." 

Marlina hanya tersenyum, baru kali ini ada lelaki yang bertingkah aneh macam itu. 

Semakin hari, Bahar dan Marlina semakin dekat. Tak jarang, Bahar mengantarnya ke pasar. Atau, sekedar menghabiskan malam di tepi dermaga. 

Berteman kopi dan obrolan ringan. Hingga, saling menggenggam tangan. 

Delapan hari sudah, kapal bersandar di dermaga. Badai di selat Karimata sudah berlalu, pelayaran harus dilanjutkan. 

Subuh, di ujung dermaga. Marlina melepas Bahar menuju samudera, dipegangnya kuat-kuat janji lelaki laut itu. Meski tak yakin, ada harapan yang disandarkan pada kata-kata. 

"Aku akan kembali, Marlina. Menikmati secangkir kopi dan senyum manismu lagi."

Lima tahun telah berlalu, badai yang sama menghantam sebuah kapal di selat Karimata. Lepaslah tali dengan tongkangnya, larat hingga terbawa arus ke selatan. 

Ombak mengayun kapal hingga 60 derajat. Menghantam dari sisi kiri dan di terpa angin kuat dari sisi kanan. Tinggi gelombang, sudah dibatas wajar. 4 meter tingginya, melambungkan kapal dengan 10 awak di dalam.

"Kapten, beta tak sanggup tahan kemudi," ucap Jamhari.

"Lepas, biar aku yang pegang," perintah Bahar.

Bahar sebagai nakhoda, tahu kondisi awal kapal yang mulai panik dan kelelahan. Iapun berkata, "Jamhari, Anwar, Sanusi, Barkah, Togar, Charles, Dadang, Made, Tanto, Dengarkan!"

"Saat ini, yang bisa kalian lakukan hanya berdo'a. Nyawa kalian milik Tuhan. Namun di kapal ini, nyawa kalian adalah tanggung jawabku," lanjutnya.

Anwar dan Togar terlihat gelisah, bahkan Tanto terlihat menangis. Life jacket yang melekat pada tubuh, tak menenangkan perasaan panik mereka.

"Tapi Kapten tak punya orang rumah!" Seru Togar.

"Tapi aku punya kalian! Berhenti panik dan lakukan prosedur! Yang tidak sanggup, tetap berada di anjungan. Mengerti!" ucap Bahar dengan tegas. 

"Siap Kapten!!" Jawab awak kapal serentak.

Bahar mencengkeram kemudi erat-erat, haluan dia arahkan ke tenggara. Berharap arus menepikan kapal ke bibir Muara. Tubuhnya kian lemas. Bahar, mengikat tangan kanannya pada kemudi. 

Tiba ombak tinggi, menyapu masuk dalam anjungan. Kapal terombang-ambing di tengah badai. 

"Hanya Tuhan, satu-satunya tempat memohon pertolongan."

Keesokan paginya, terlihat Marlina menata meja. Kedai kopi yang dahulu beratap seng karatan, kini sudah berganti susunan papan kayu ulin. 

Bangunan kedai tidak lagi gubuk. Kini, ornamen Melayu dan Dayak menghiasi dinding. 

Marlina menatap pada kerumunan orang, melihat satu persatu awak kapal ditandu keluar. Kapal yang subuh tadi di tarik patroli Airud ke dermaga. 

"Aku tak tahu, janjiku ataukah do'amu yang membawaku kembali." 

Marlina terkejut dengan suara lelaki, suara yang dirindukan bertahun-tahun lamanya. Memecah tangisnya seketika, ribuan pertanyaan berkecamuk dalam hatinya.

Ia memperhatikan jemari Bahar, tak ada ikatan cincin emas. Hanya ada batu akik yang dibelinya dari Pontianak, lima tahun lalu.

"Aku benci kau, Bahar," seru Marlina.

"Aku tak punye' waktu menerima kebencian itu, Marlina," jawab Bahar.

"Ape' kau akan pergi lagi?" tanya Marlina, sambil berusaha mengusap air matanya.

Bahar menjawab, "kapalku rusak parah, biarlah tertambat di sane'. Hatiku sudah tertambat di sini."

"Pelaut, polahnye' serupa," ucap Marlina.

Bahar mengambil duduk, dua meja dari Marlina dan berkata, "kemane' perginye' dipan bambu, aku lelah. Dua hari, aku belum tidur."

Marlina hanya tersenyum, meski air mata masih mengalir. Ia memalingkan wajahnya dari Bahar, menatap haru ke arah dermaga. 

Dermaga kayu yang berganti beton, menanti gelak tawa Bahar dan Marlina. Meniti kisah yang lama tertunda. Kini, pelaut itu telah kembali.

**

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

(Indra Rahadian 25/1/2021)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun