"Tapi aku punya kalian! Berhenti panik dan lakukan prosedur! Yang tidak sanggup, tetap berada di anjungan. Mengerti!" ucap Bahar dengan tegas.Â
"Siap Kapten!!" Jawab awak kapal serentak.
Bahar mencengkeram kemudi erat-erat, haluan dia arahkan ke tenggara. Berharap arus menepikan kapal ke bibir Muara. Tubuhnya kian lemas. Bahar, mengikat tangan kanannya pada kemudi.Â
Tiba ombak tinggi, menyapu masuk dalam anjungan. Kapal terombang-ambing di tengah badai.Â
"Hanya Tuhan, satu-satunya tempat memohon pertolongan."
Keesokan paginya, terlihat Marlina menata meja. Kedai kopi yang dahulu beratap seng karatan, kini sudah berganti susunan papan kayu ulin.Â
Bangunan kedai tidak lagi gubuk. Kini, ornamen Melayu dan Dayak menghiasi dinding.Â
Marlina menatap pada kerumunan orang, melihat satu persatu awak kapal ditandu keluar. Kapal yang subuh tadi di tarik patroli Airud ke dermaga.Â
"Aku tak tahu, janjiku ataukah do'amu yang membawaku kembali."Â
Marlina terkejut dengan suara lelaki, suara yang dirindukan bertahun-tahun lamanya. Memecah tangisnya seketika, ribuan pertanyaan berkecamuk dalam hatinya.
Ia memperhatikan jemari Bahar, tak ada ikatan cincin emas. Hanya ada batu akik yang dibelinya dari Pontianak, lima tahun lalu.
"Aku benci kau, Bahar," seru Marlina.
"Aku tak punye' waktu menerima kebencian itu, Marlina," jawab Bahar.