MOMEN menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru. Politik tanah air kembali dibuat panas. Panas dengan berbagai kasus kriminal yang dipolitisasi. Dari korupsi benur, korupsi bansos yang dikaitkan dengan kontestan pilkada, serta kepemilikan senjata api ilegal oleh anggota FPI.
Akankah reshuffle kabinet terbatas, mendinginkan suasana?
Pilkada 2020, sudah diprediksi berlangsung ngeri. Meski belum sepenuhnya terbukti. Namun, hasil pilkada yang sudah dilaksanakan, tak begitu jauh meleset dengan opini-opini yang beredar di masyarakat.
Petahana melawan kotak kosong, kotak kosong melawan calon kepala daerah, sulitnya calon independen untuk ikut kontestasi dan isu dinasti politik di daerah, yang dikaitkan istilah rezim.
Padahal sudah jelas, setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat, berhak dicalonkan atau mencalonkan sebagai kepala daerah dan pemenang dalam sistem demokrasi adalah kandidat yang perolehan suara terbanyak secara aktual. Bukan kandidat dengan perhitungan rasa-rasa, apalagi praduga.
Lain lubuk lain ikannya, dinamika politik di daerah tidak bisa disamaratakan. Lain Jawa tengah pun lain Sumatera barat, masyarakat sudah purna menilai. Berkontribusi dengan menunaikan hak konstitusional, dengan memilih pada bilik suara. Sebagian malah abstain.Â
Sementara, pandemi yang telah melampaui rasa kebosanan masyarakat dan menguras kantong-kantong pelaku usaha, kian diabaikan. Dengan memaksakan diri turun ke jalan dan berkerumun tanpa protokol kesehatan yang ditentukan oleh pemerintah, relawan dan penggiat peduli covid-19.Â
Kopi gelas pertama dari editorial ini berkisah, tentang aksi demonstrasi.
Aksi demonstrasi adalah sah dan dijamin oleh undang-undang. Maka tak salah, jika keputusan turun ke jalan, dilaksanakan untuk mengemukakan pendapat ataupun protes.Â
Tak pelak, aksi ini terjadi di tengah pandemi dan menyita perhatian masyarakat. Bukan muatan dari isu protes yang diangkat, tapi cara dan perilaku peserta demonstrasi yang membuat geleng-geleng kepala.
Jika kita berbicara tentang protes UU cipta kerja, catatan akhirnya adalah kerusuhan dan perusakan fasilitas umum. Belum diketahui siapa pelakunya. Namun, hal itu terjadi saat aksi demonstrasi dilaksanakan.
Sebelumnya, aksi berjilid yang dilaksanakan oleh FPI. Menuntut pemerintah untuk memulangkan imam besarnya dari tanah suci. Kerap dilaksanakan berbondong-bondong.
Tak ada yang salah, mengemukakan pendapat dan aksi dengan tuntutan seperti itupun dijamin oleh undang-undang. Tapi, kan masih dalam kondisi pandemi.
Kemudian, aksi deklarasi oleh kelompok yang ingin disebut sebagai gerakan moral--mohon jangan disingkat. Bernama kesatuan aksi menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang dilaksanakan dengan cara road show dan menimbulkan kerumunan massa, di beberapa kota yang menolak kehadirannya.
Hingga kepulangan imam besar FPI, Habib Rizieq Shihab ke tanah air, kerumunan massa tak terhindarkan. Menyeret nama-nama pejabat dan menyorot artis sensasional Nikita Mirzani.
Pihak kepolisian pun kembali dibuat repot dengan penanganan kasus kerumunan yang berujung pada penangkapan imam besar FPI tersebut. Padahal, bukankah sebelum beliau berangkat dan menetap sementara di tanah suci, tengah dihadapkan pada beberapa kasus lainnya.Â
Penghinaan simbol dan tokoh negara, penghinaan agama lain, penghinaan ucapan salam budaya lokal, chat mesum dan tuntutan lain dari pihak yang merasa terganggu. Maklum, masyarakat awam seperti kami, terkadang mendadak amnesia.
Maka, biarlah persoalan di ranah hukum menjadi urusan pihak berwenang. Tindakan mengadili dengan praduga, hanya akan menyeret perdebatan pada ego belaka. Terlebih mengaitkannya pada politik dan pemerintahan.
Kopi gelas kedua dari editorial ini berkisah, tentang aksi provokasi.
Provokasi di media sosial cukup mafhum di Indonesia. Dari jaman kuda gigit besi, sampai saat ini. Debat kusir di kolom komentar, lebih ramai dari tayangan yang diberitakan.
Kemudian, bagaimana jika media mainstream yang justru melempar bara pada hati pembaca. Media yang ingin sekali didukung perihal independensinya. Miris memang, mungkin kebebasan pers yang dianut, setara pers di negara berpedoman laicité.Â
Media yang menampilkan karikatur tokoh negara secara sembrono, seolah-olah media tersebut akan langsung dibredel oleh "penguasa" dan lupa, bahwa bangsa ini sudah menumbangkan rezim orde baru.
Belakangan, memuat pemberitaan berdasarkan investigasi ala Sherlock Holmes tentang kasus "koboi jalanan." Disinyalir menyudutkan pihak kepolisian. Padahal lembaga selevel Komnas HAM, belum menyampaikan keterangan pers resmi. Terkait hasil investigasi mereka.Â
Kemudian, mengaitkan calon walikota solo, Gibran Rakabuming, pada dugaan bancakan korupsi dana bansos, dengan investigasi serupa. Menambah dahaga penikmat teori konspirasi, yang mendekatkan analisis dan opini mereka pada jeratan UU ITE.
Gelas ketiga? Lae mulai geleng kepala, iapun menyeduh kembali kopi dan menyajikan dengan wajah masam. Obrolan politik memang membuat gusar. Pikirnya.
Kopi gelas ketiga dari editorial ini berkisah, tentang tragedi.
Tragedi terbesar bangsa ini, sebetulnya pandemi. Namun kalah sadis dengan korupsi yang dilakukan oleh dua orang pembantu presiden, yang diciduk KPK menjelang hari Anti Korupsi Internasional. Prestasi baik penutup tahun.
Adalah Eddy Prabowo, dalam kasus isu korupsi "benur lobster" yang membuat siapapun yang mendengar, mengerutkan dahi dibuatnya. Bisa disebut, sebagai menteri hasil rekonsiliasi politik yang gagal total.
Dan yang paling sadis, Juliari Batubara yang terlibat isu korupsi tas bansos. Sungguh meremukkan hati partai pengusungnya. Sebuah bahan meme yang seksi untuk digunakan kelompok anti pemerintah.
Pemerintah--dalam hal ini Bapak presiden Jokowi, dituntut untuk segera melakukan reshuffle terbatas. Meskipun banyak yang menduga, lagi lagi. Bahwasanya reshuffle ini benar-benar terbatas pada negosiasi pemerintah, dengan tokoh-tokoh partai politik. Kita nantikan saja.
Toh, hal tersebut adalah hak prerogatif presiden. Urgensi atas pengalihan tugas pucuk pimpinan di kedua kementerian terkait tidak terlalu mendesak dan saat ini dijalankan oleh pejabat sementara. Namun masyarakat wajib menilai, kinerja kedua menteri yang ditunjuk tersebut.
Lalu, bagaimana dengan peristiwa tembak menembak antara pihak kepolisian dan simpatisan FPI. Bukankah hal itu merupakan tragedi kemanusiaan?Â
Kasus ini murni kriminal, bila terkait kepemilikan senjata api ilegal. Mengenai bumbu-bumbu, adanya aksi intelejen yang tertangkap FPI. Sangat miris, ternyata ada media mainstream yang berhasil "digocek" bahan hoax, seperti kartu anggota intelejen yang dibawa saat bertugas.
Adanya korban jiwa yang jatuh dalam peristiwa tersebut, kronologi dan keterlibatannya harus diungkap secepatnya ke publik oleh pihak kepolisian. Simpang siur dan prasangka berbagai pihak, justru dimanfaatkan oleh sebagian kalangan untuk menyerang pemerintah. Dalam hal ini belum bisa dibuktikan kebenarannya.
Lalu, bagaimana cerita oposisi sepi?
Sejatinya, dalam sistem pemerintahan presidensial tidak mengenal istilah partai oposisi. Hal itu, dikesankan saja untuk gaya-gayaan. Karena di Indonesia, yang mengaku atau di label partai oposisi, toh mempunyai kader yang menjabat sebagai kepala daerah.Â
Ingat, struktur pejabat eksekutif--dalam hal ini kepala daerah, berada dibawah pemerintah pusat.
Sepi, karena ajakan dan tuntutan yang digaungkan. Mulai dari menyelamatkan Indonesia dan menurunkan presiden, entah turun kemana. Tak begitu laku, tanpa argumentasi dan solusi konkret yang ditawarkan pada masyarakat.
Mengatasnamakan agama, rakyat dan hal yang lebih luas. Untuk kepentingan kelompok maupun pribadi, merupakan tindakan remeh yang hanya akan membuat penonton mengantuk. Tindakan yang seringkali dipraktekkan "oknum" tokoh-tokoh bangsa dalam akun media sosial maupun pemberitaan nasional.
Intinya, sebelum terang benderang dan dapat dibuktikan di meja hijau. Opini dan dugaan adalah sah, selama tidak memperkeruh suasana kondusif di masyarakat. Monggo.
Terlebih sebentar lagi, umat Katolik dan Protestan akan merayakan Natal dan Tahun Baru. Ayolah, redam sejenak sentimen negatif dan egosentris. Di penghujung tahun pandemi ini.Â
Gelas keempat? Oh tidak. Sudah cukup banyak catatan kasbon yang penulis goreskan pada buku lecek Lae, pemilik kedai.
(Indra Rahadian 12/21)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H