Jika kita berbicara tentang protes UU cipta kerja, catatan akhirnya adalah kerusuhan dan perusakan fasilitas umum. Belum diketahui siapa pelakunya. Namun, hal itu terjadi saat aksi demonstrasi dilaksanakan.
Sebelumnya, aksi berjilid yang dilaksanakan oleh FPI. Menuntut pemerintah untuk memulangkan imam besarnya dari tanah suci. Kerap dilaksanakan berbondong-bondong.
Tak ada yang salah, mengemukakan pendapat dan aksi dengan tuntutan seperti itupun dijamin oleh undang-undang. Tapi, kan masih dalam kondisi pandemi.
Kemudian, aksi deklarasi oleh kelompok yang ingin disebut sebagai gerakan moral--mohon jangan disingkat. Bernama kesatuan aksi menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang dilaksanakan dengan cara road show dan menimbulkan kerumunan massa, di beberapa kota yang menolak kehadirannya.
Hingga kepulangan imam besar FPI, Habib Rizieq Shihab ke tanah air, kerumunan massa tak terhindarkan. Menyeret nama-nama pejabat dan menyorot artis sensasional Nikita Mirzani.
Pihak kepolisian pun kembali dibuat repot dengan penanganan kasus kerumunan yang berujung pada penangkapan imam besar FPI tersebut. Padahal, bukankah sebelum beliau berangkat dan menetap sementara di tanah suci, tengah dihadapkan pada beberapa kasus lainnya.Â
Penghinaan simbol dan tokoh negara, penghinaan agama lain, penghinaan ucapan salam budaya lokal, chat mesum dan tuntutan lain dari pihak yang merasa terganggu. Maklum, masyarakat awam seperti kami, terkadang mendadak amnesia.
Maka, biarlah persoalan di ranah hukum menjadi urusan pihak berwenang. Tindakan mengadili dengan praduga, hanya akan menyeret perdebatan pada ego belaka. Terlebih mengaitkannya pada politik dan pemerintahan.
Kopi gelas kedua dari editorial ini berkisah, tentang aksi provokasi.
Provokasi di media sosial cukup mafhum di Indonesia. Dari jaman kuda gigit besi, sampai saat ini. Debat kusir di kolom komentar, lebih ramai dari tayangan yang diberitakan.
Kemudian, bagaimana jika media mainstream yang justru melempar bara pada hati pembaca. Media yang ingin sekali didukung perihal independensinya. Miris memang, mungkin kebebasan pers yang dianut, setara pers di negara berpedoman laicité.Â