AROMA bunga seroja, membius siapapun yang berada di halaman paviliun tua, peninggalan masa kolonial Belanda tersebut.Â
Paviliun yang terletak di desa Kuntji - Tegal Rejo. Merupakan bagian dari rumah besar milik keluarga besar Tan Eng Tjok, saudagar gula aren pada masanya.
Pada tahun 1947, rumah besar keluarga Tan Eng Tjok habis terbakar dan hanya menyisakan bangunan paviliun yang masih kokoh berdiri.
Keluarga Tan Eng Tjok, kini sudah tidak ada penerusnya. Setelah kehilangan putra satu-satunya yang bernama Tan Kwe Hok alias A kew, pada peristiwa kebakaran tersebut.
Konon, paviliun tua tersebut berhantu dan masyarakat seringkali melihat penampakan mahluk halus di sekitarnya.
Terlihat dua orang berpakaian hitam berkain sarung, di luar pintu masuk paviliun seroja. Mereka tengah mengendap-endap, dengan membawa sebuah buntelan di tangannya masing-masing.
"Aku ra gelem mlebu!"Â ujar Toro.
"Terserah, daripada kamu diamuk massa!" Jawab Wito.
Setelah lama berunding, merekapun sepakat masuk ke dalam paviliun. Melalui salah satu jendela di samping kanan bangunan.
"Maling..maling!!" Terdengar samar-samar suara warga dari arah perkampungan.
Semilir angin malam dan wangi bunga seroja yang menyengat, membuat Toro dan Wito merasa gelisah dalam persembunyian.
Bulu kuduk Toro merinding, kala sekelebat bayangan hitam melintas di depannya. Wito yang ikut menyaksikan pun terperanjat kaget.
Wito sepintas melihat, sosok berseragam serdadu jaman penjajahan, mendekat kearah mereka. Kemudian kesejap menghilang.
Dua orang maling itu menggigil sampai mengeluarkan keringat dingin. Ketakutan membayangi keduanya malam itu.
Tiba-tiba, sesosok mahluk berwajah pucat  sudah berada di belakang mereka. Matanya terbelalak seperti hendak memangsa keduanya.
Pagi yang dingin, untaian embun masih menempel di dedaunan dan pucuk rerumputan.
Toro dan Wito terkulai lemas tak sadarkan diri, tangan dan kaki mereka terikat oleh kain sarung mereka sendiri.
Tampak Pek Ayung dan Pastor Bobby, bercengkrama tak jauh dari Toro dan Wito. Duduk sambil meminum teh hangat di pelataran paviliun seroja.
Tak lama, mereka bangkit dari tempat duduknya dan menyambut beberapa tamu yang baru saja tiba.
Kyai Masturo membawa beberapa warga yang semalam menjadi korban pencurian, mereka terlihat bercengkrama dengan akrab dan berbagi tawa.
"Bagaimana ceritanya maling itu bisa tertangkap?" Tanya Kyai Masturo.
"Pek Ayung, memang tua keladi. Beliau ringkus dua orang maling itu sendiri, Kyai," jawab Pastor Bobby.
Pek Ayung mempersilahkan Kyai Mastur untuk duduk, beliau lalu berkata, "saya marah loh, seumur-umur tinggal disini, tak pernah ada maling atau pencuri."
Beberapa warga yang menjadi korban hendak memukul Toro dan Wito, namun dicegah oleh Pastor Bobby dan Kyai Masturo.
Saat itulah Wito berani bertanya pada Kyai Masturo, ia bertanya, "maaf Kyai, maaf Pastor, maaf Apek, bukankah bangunan paviliun seroja ini angker menurut cerita orang-orang."
"Betul, itulah sebabnya kami lari kesini agar tidak dikejar-kejar massa," ucap Toro menambahkan.
"Hantunya yo koe!" Celetuk salah satu warga.
"Bangunan ini, bangunan bersejarah yang menjadi saksi perjuangan saat melawan penjajah," jawab Kyai Masturo.
"Bangunan utama, sengaja dibakar untuk melindungi pejuang yang bersembunyi di dalam paviliun," tutup beliau.
"Bapak-bapak, tolong bawa mereka ke kantor polisi. Pek Ayung juga tolong ikut, kami bantu jaga paviliun sampai Pek pulang," pinta Pastor Bobby pada warga.
Warga dan Pek Ayung membawa Wito dan Toro keluar dari paviliun seroja, mereka akan menyerahkan kedua maling tersebut kepada pihak kepolisian.
Kyai Masturo dan Pastor Bobby, masih berada di dalam paviliun seroja. Mereka mengambil duduk dan mengobrol sambil minum teh yang sudah tak lagi hangat.
"Kyai, apakah Pek Ayung baik-baik saja? Beliau bertingkah aneh tadi, mengatakan seumur-umur. Padahal baru dua minggu, beliau tiba di desa ini," Tanya Pastor Bobby.
Kyai Masturo pun menjawab, "entah, beliau sudah dua minggu menjaga tempat ini dan tidak terjadi apa-apa, Pastor."
"Semoga begitu Kyai, karena sudah tak terdengar lagi ada korban. Setelah jasad serdadu belanda yang diculik dan dibunuh pejuang kita dahulu, ditemukan tahun lalu," ucap Pastor Bobby.
"Apakah Pastor sudah memberitahukan pada Pek Ayung, perilah musibah yang dialami oleh penjaga paviliun terakhir?" Tanya Kyai Masturo.
"Semalam, saya mau memberitahu beliau. Namun belum sempat, karena adanya maling yang masuk ke dalam paviliun." Tutup Pastor Bobby.
Saat keduanya tengah asyik bercengkrama, dari salah satu ruangan paviliun seroja yang terlihat gelap dan berdebu. Bunyi decit kursi goyang berbahan rotan, sayup-sayup terdengar.
Seseorang menyerupai Pek Ayung tengah terduduk di atas kursi goyang tersebut. Ia menatap dingin pada daun jendela kusam yang masih tertutup rapat.
Terlihat jelas ceceran darah yang masih segar, pada leher sosok tersebut. Dengan luka sayatan yang masih menganga.
**
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.
(Indra Rahadian 12/17/20)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H