Semilir angin malam dan wangi bunga seroja yang menyengat, membuat Toro dan Wito merasa gelisah dalam persembunyian.
Bulu kuduk Toro merinding, kala sekelebat bayangan hitam melintas di depannya. Wito yang ikut menyaksikan pun terperanjat kaget.
Wito sepintas melihat, sosok berseragam serdadu jaman penjajahan, mendekat kearah mereka. Kemudian kesejap menghilang.
Dua orang maling itu menggigil sampai mengeluarkan keringat dingin. Ketakutan membayangi keduanya malam itu.
Tiba-tiba, sesosok mahluk berwajah pucat  sudah berada di belakang mereka. Matanya terbelalak seperti hendak memangsa keduanya.
Pagi yang dingin, untaian embun masih menempel di dedaunan dan pucuk rerumputan.
Toro dan Wito terkulai lemas tak sadarkan diri, tangan dan kaki mereka terikat oleh kain sarung mereka sendiri.
Tampak Pek Ayung dan Pastor Bobby, bercengkrama tak jauh dari Toro dan Wito. Duduk sambil meminum teh hangat di pelataran paviliun seroja.
Tak lama, mereka bangkit dari tempat duduknya dan menyambut beberapa tamu yang baru saja tiba.
Kyai Masturo membawa beberapa warga yang semalam menjadi korban pencurian, mereka terlihat bercengkrama dengan akrab dan berbagi tawa.
"Bagaimana ceritanya maling itu bisa tertangkap?" Tanya Kyai Masturo.