CANTIKA, sebuah nama yang manis untuk diucapkan. Paras ayu, suara lembut serak-serak basah, kulit kuning langsat dan penampilan casual, sudahlah tentu.
Cantika tumbuh di lingkungan yang sulit, terlahir dari keluarga broken home sejak kecil. Tidak membuatnya menjadi pribadi yang tertutup.
Ibunda bekerja sebagai pegawai laundry kiloan, tak jauh dari rumahnya. Sementara ayahanda adalah mantan atlet sepakbola yang kini bekerja sebagai juru parkir pasar. Kecuali pada hari minggu, beliau tercatat sebagai salah satu pelatih SSB di sebuah komplek perumahan.
Kedua orang tuanya memutuskan bercerai, ketika Cantika mulai belajar di bangku sekolah dasar, 8 tahun yang lalu.
Cantika sendiri tak tahu pasti, apa yang menyebabkan kedua orang tuanya bercerai.
Ia hanya mendengar gosip dari tetangga, tentang ayahnya yang sering pulang larut malam, dalam kondisi mabuk dan mengakibatkan pertengkaran di antara mereka. Dahulu.
Hingga kondisi ekonomi keluarga yang semakin memburuk, saat ayahnya kehilangan pekerjaan sebagai satpam di salah satu Bank terkenal di Indonesia.
Sejak saat itu, Cantika mempunyai dua rumah di dua komplek perumahan yang berbeda. Jaraknya tidak begitu jauh, hanya terpisahkan sebuah jembatan yang berjarak 500 meter dari rumah keduanya.
Pada hari belajar di sekolah, ia tinggal bersama ibunda. Membantu Ibunda menjemur cucian di tempat laundry milik nyonya Ema, sepulang sekolah.
"Duh sayang banget, Cantika. Dulu mah ayah sama ibu kamu, pasutri paling romantis di komplek ini," ucap Nyonya Ema.
"Masih begitu kok, Nyonya. Cuma lewat Cantika saja sekarang romantisnya," jawab Cantika, sebelum pamit setelah membantu ibunya di laundry sore itu.
Pada hari libur, ia menghabiskan waktu dengan menemani ayahanda di pinggir lapangan sepakbola komplek. Bercerita keseharian dan melepas dahaga kasih sayang kedua orang tua.
"Ayah, kenapa pemain nomor 8 selalu berada di tengah?" Tanya Cantika.
"Tugasnya playmaker, dia yang atur bola buat teamnya," jawab Ayah.
"Golll!!" teriak sang ayah, saat anak didiknya mencetak goal dalam latihan sore itu.
"Kenapa? Kamu naksir ya sama nomor 8?". tanya Ayah.
"Angka 8 itu paling sabar. Ia kadang menunggu bola, kadang merebut bola untuk menciptakan peluang," jawab Cantika.
"Nah.." jawab Ayah.
Belum selesai ayah berbicara, Cantika memotong ucapan beliau dengan berkata, "apakah angka 8 tahun sudah cukup, untuk ayah mulai berbicara lagi dengan ibu."Â
"Tentang apa? Kami baik-baik saja," jawab Ayah berkilah, kemudian meniup peluit memanggil team asuhannya berkumpul.
Cantika pulang ke rumah dengan bersepeda, ia masih berpikir tentang kedua orang tuanya. Yang belum pernah ia lihat berbicara satu sama lain, sejak 8 tahun lalu.Â
Dalam hatinya berharap, kata "baik-baik" itu dapat dilihat oleh kedua matanya secara langsung.
"Bunda, ayah titip salam," sapa Cantika, saat melihat bunda tengah menyiapkan makan malam.
Ibunda tak menjawab apapun, beliau hanya berkata, "Bunda beli tahu bakso, sudah di masak pakai sambal kacang kesukaan kamu. Nak."
"Terima kasih, Bunda," ucap Cantika, seraya memeluk Ibunda.
Setelah makan malam dengan ibunda, Cantika bergegas membereskan meja makan dan mencuci piring. Sebelum tidur, Cantika tak lupa berdo'a.
Berdo'a untuk kebahagiaan ayah, ibunda dan masa depannya agar di berkati dengan kehidupan terbaik.
Pagi itu, Cantika terbangun oleh suara obrolan ibunda di depan pintu. Biasanya tukang sayur tak lewat sepagi ini, pikirnya.
Ia pun berusaha melihat dari balik jendela kamarnya, dan betapa terkejutnya Cantika. Ayah dan ibunda tengah berbicara dari balik pintu.
"Aku mau rujuk. Apa yang kamu mau, akan ku turuti. Asalkan kita bisa kembali bersama."
"Kenapa baru sekarang?"
"Setiap tahun, selalu ada lelaki yang datang ke rumahmu,"
Ibunda terlihat menarik nafas panjang dan berkata, "mereka hanya teman, yang peduli padaku dan Cantika."
"Dan saat ini, adalah peluangku," ucap Ayah.
"Cantika adalah alasanku, 8 tahun adalah waktu yang lama," lanjutnya.
"Sangat lama!" Seru Ibunda.
"Iya, selama ini aku memperbaiki diri dari ketergantungan alkohol dan pergaulan yang menghancurkan hidupku," terang Ayah.
"Aku tahu, itu sebabnya aku masih menunggu," jawab Ibunda.
Kedua bola mata ibunda berkaca-kaca, beliau tak dapat menyembunyikan rasa haru dalam hatinya.
"Masuklah," pinta ibunda, seraya membuka pintu lebih lebar.
"Tidak, aku akan masuk setelah kembali menjadi suamimu, Cinta," tutup Ayah.
Setelahnya, mereka hanya saling berpandangan tanpa suara.Â
Cantika tersenyum sambil menyeka air matanya, air mata haru yang penuh kebahagiaan.Â
Di pagi hari yang indah, sebuah kisah cinta sejati adalah tontonan paling menawan. Ia akan belajar tentang sebuah kasih sayang yang tak habis dimakan waktu.
Kisah cinta yang menempatkan namanya sebagai alasan, untuk kembali menjalin kasih sayang kedua orang tuanya.
***
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.
(Indra Rahadian 12/16/20)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H