Syahdan disore yang tenang selepas hujan reda, mentari menyapa hangat dibalik gemericik air telaga yang mengalir melewati kaki bukit menuju kota.
Dibalik rimbun rerumputan terlihat dua ekor anak kucing hutan, bernama adik dan kaka tengah bermain, saling memeluk, saling mencakar, menggeliat manja dan berkejaran dengan ceria.
"Ibu dimana ka, hari sudah petang belum juga kembali?" Tanya sang adik.
Sang kaka menjawab, "nanti sebelum gelap pasti kembali, ibu sudah berjanji mengajari kita berburu mangsa."
Terengah-engah sang adik berlari, hingga berhenti dan menatap jauh kearah kota yang megah berdiri jauh disana.Â
"Ka, apakah ibu mencari mangsa dihutan tanpa dedaunan, yang tinggi disana?" Tanya sang adik.
"Itu bukan hutan adik, itu adalah rumah-rumah manusia," jawab sang kaka sembari menghentikan lari-lari kecilnya.
Sang adik termenung sejenak, seakan mengingat sesuatu, lalu bertanya, "manusia yang sama yang merusak rumah kita?"
"Entahlah adik, bentuknya berbeda, disana rumah mereka seperti bebatuan menjulang tinggi, sementara dirumah kita dahulu, manusia hanya menanam pohon-pohon yang serupa," ujar sang kaka yang akhirnya ikut menatap kearah kota.
Kota yang megah dengan gedung-gedung tinggi menjulang, cahaya warna-warni dan cerobong asap beranekaragam, hiruk pikuk kota ditandai bunyi klakson bersahut-sahutan dan asap kendaraan berhamburan disana sini, mewarnai suasana kota disore hari itu.Â