Keamanan laut Indonesia kembali mengusir kapal coast guard China (14/9) dari wilayah ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara, KN Pulau Nipah 321 (BAKAMLA) bersama KRI Imam Bonjol 383 (TNI AL), memastikan kapal coast guard China meninggalkan wilayah perairan Indonesia.
Cukup miris memang, sebelum BAKAMLA diperkuat seperti sekarang, untuk menghadapi sekelas kapal nelayan dan kapal coast guard saja harus menurunkan armada tempur KRI.
Sejak Deklarasi Djuanda bergulir hingga diakui PBB pada konvensi hukum laut ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982), baru pada tahun 2014 keamanan laut Indonesia mulai diperhitungkan
Didukung TNI AL dalam pelaksanaan pengamanan wilayah laut, aktivitas ilegal berpuluh-puluh tahun kapal asing diperairan Indonesia, akhirnya bisa diredam, meskipun tak benar benar-benar hilang. Mulai dari penangkapan ikan, penyelundupan barang ilegal, narkotika dan human trafficking.
Indonesia sendiri mempunyai patroli armada laut dari KKP, BAKAMLA, KPLP, AIRUD dan KRI TNI AL, belakangan penguatan BAKAMLA sebagai Indonesian coast guard menjadi tantangan tersendiri dalam praktek pengamanan wilayah perairan.
Karena selama ini peran KRI dalam mengusir kapal penangkap ikan ilegal dan coast guard asing masih belum dapat tergantikan sempurna.
Terkait kapal-kapal coast guard China dan Vietnam yang cukup ngeyel dan perlu tindakan tegas, khususnya diperairan Natuna.
Natuna merupakan wilayah perairan Indonesia yang sangat sexy dimata dunia, jika selama ini hanya disorot sebagai jalur perdagangan kapal dagang dan melimpahnya potensi tangkapan hasil laut di wilayah tersebut, faktanya cadangan mineral, gas dan minyak bumi yang terkandung didalamnya sangat tinggi.
Selain letak geografis, mungkin hal itu yang mendorong Malaysia pada awal 1950-an berusaha memasukkan Natuna ke dalam wilayahnya, namun konfrontasi yang dilaksanakan Ir Soekarno, memadamkan niatan tersebut.
Sejak tahun 1962 -1966 Malaysia tak lagi mempertanyakan kedaulatan Indonesia atas natuna, namun berganti intensitas China yang seakan mengabaikan hukum laut internasional (UNCLOS) yang sudah diratifikasi oleh China sendiri, namun masih saja keukeuh berargumen dengan nine dash line yang diklaim historis berdasarkan peta jaman dinasti Ming.
Nine Dash Line China
Klaim China atas sebagian besar wilayah perairan dilaut China Selatan berdasarkan Nine Dash Line menimbulkan konflik dengan Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei dan Indonesia, kendati tidak mencakup kepulauan Natuna keseluruhan.
Tak ayal ulah nelayan China yang sering mengambil ikan di area Indonesia dan isu atas upaya aneksasi China atas pulau Natuna di era 80-an cukup membuat risih.
PBB tidak mengakui klaim Nine Dash Line China pada bulan Juli 2016, menyusul gugatan Filipina terhadap klaim tersebut.
Hal ini malah mendorong China untuk lebih meningkatkan aktivitas pembangunan fasilitas militer diwilayah perairan laut China Selatan.
Sengketa semakin meruncing antara China, Vietnam, dan Filipina lalu memancing Amerika mengirimkan armada tempurnya ditahun-tahun berikutnya.
Pelanggaran wilayah laut oleh coast guard China kali ini terasa berbeda, karena dalam kondisi ketegangan dengan Amerika di laut China Selatan dan urung mendapatkan persetujuan dari Indonesia dalam kerjasama pertahanan militer. Teranyar, mereka akan membuat kerjasama pertahanan militer dengan Brunei Darussalam.
Patroli coast guard China disekitar perairan laut China Selatan dan masuk pada laut Natuna Utara sepertinya akan makin intens.
Atau, setidak-tidaknya sebagai soft warning kepada negara-negara ASEAN, bahwa hegemoni China terhadap laut China Selatan masih kuat dan berharap negara-negara tersebut tidak terpengaruh pada aksi propaganda Amerika yang makin agresif diwilayah itu.
Perang Dunia ke III?
Sebagai raksasa ekonomi, China telah meluluh lantakkan kedigdayaan negara adikuasa Amerika dalam perang dagang yang berlangsung dari tahun 2018 dan berakhir pada Januari 2020.
Beruntung, Indonesia berhasil menghindar dari ekses buruk perang dagang kedua negara tersebut.
Pasca perang dagang, hubungan kedua negara semakin memburuk, dipicu atas meningkatnya aktivitas militer China dilaut China Selatan.
Alih-alih melindungi negara-negara Asean dan Taiwan, bertindak sebagai polisi dunia, Amerika semakin massif mengirimkan armada tempur ke wilayah tersebut.
Aktivitas Amerika itu sempat mengundang perhatian Inggris dan Rusia, namun hingga saat ini terkesan hanya sebagai pameran persenjataan belaka.
Ramalan tentang perang dunia ke III yang diprediksi pecah di timur tengah, akibat konflik bersenjata yang tak berkesudahan. Ditambah berkembangnya aktivitas produksi persenjataan nuklir negara-negara seperti Iran, Korea Utara dan China belum sepenuhnya terbukti.
Kini, faktanya, Amerika menarik diri dari Irak pasca serangan balasan atas meninggalnya petinggi militer Iran.
"Lalu apakah konflik Laut China Selatan akan menjadi pemicu yang benar-benar aktual untuk menuntaskan ramalan tersebut?"
Negara-negara dengan kekuatan militer mumpuni saat ini, yang dimasa lalu tergabung dalam NATO atau Blok Komunis, maupun dunia ketiga masih terkesan abu-abu dalam keberpihakannya jika pecah perang dilaut China Selatan.
Meski Covid-19 sedikit meredam gejolak yang timbul dari skenario perang terbuka kedua negara, namun tak melemahkan manuver-manuver politik dan militer yang tengah dilaksanakan.
Seluruh dunia sedang bertarung dengan pandemi dan pertumbuhan ekonomi, resesi sudah melanda dan kini dihadapkan pada kemungkinan perang dua negara adikuasa.
Seberapa siap bangsa ini menerima kemungkinan terburuk dari dinamika Laut China Selatan?
Jika peperangan ditimur tengah dirasa tidak berpengaruh terhadap bangsa ini karena letak geografis yang jauh, maka bagaimana jika peperangan itu terjadi didepan halaman tanah air kita sendiri?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H