Beruntung, Indonesia berhasil menghindar dari ekses buruk perang dagang kedua negara tersebut.
Pasca perang dagang, hubungan kedua negara semakin memburuk, dipicu atas meningkatnya aktivitas militer China dilaut China Selatan.
Alih-alih melindungi negara-negara Asean dan Taiwan, bertindak sebagai polisi dunia, Amerika semakin massif mengirimkan armada tempur ke wilayah tersebut.
Aktivitas Amerika itu sempat mengundang perhatian Inggris dan Rusia, namun hingga saat ini terkesan hanya sebagai pameran persenjataan belaka.
Ramalan tentang perang dunia ke III yang diprediksi pecah di timur tengah, akibat konflik bersenjata yang tak berkesudahan. Ditambah berkembangnya aktivitas produksi persenjataan nuklir negara-negara seperti Iran, Korea Utara dan China belum sepenuhnya terbukti.
Kini, faktanya, Amerika menarik diri dari Irak pasca serangan balasan atas meninggalnya petinggi militer Iran.
"Lalu apakah konflik Laut China Selatan akan menjadi pemicu yang benar-benar aktual untuk menuntaskan ramalan tersebut?"
Negara-negara dengan kekuatan militer mumpuni saat ini, yang dimasa lalu tergabung dalam NATO atau Blok Komunis, maupun dunia ketiga masih terkesan abu-abu dalam keberpihakannya jika pecah perang dilaut China Selatan.
Meski Covid-19 sedikit meredam gejolak yang timbul dari skenario perang terbuka kedua negara, namun tak melemahkan manuver-manuver politik dan militer yang tengah dilaksanakan.
Seluruh dunia sedang bertarung dengan pandemi dan pertumbuhan ekonomi, resesi sudah melanda dan kini dihadapkan pada kemungkinan perang dua negara adikuasa.
Seberapa siap bangsa ini menerima kemungkinan terburuk dari dinamika Laut China Selatan?