Di zaman Renaissans, sekularitas kembali dalam kehidupan manusia. Sekularitas ini mendorong kembali terang berpikir murni ke dalam kehidupan manusia. Maka, berpikir kembali menjadi penanda keberadaan manusia di alam semesta. Maka, manusia kembali sadar bahwa berpikir adalah hal yang identik dengan manusia. Kehidupan manusia kembali ditentukan oleh kegiatan berpikir yang dilakukannya. Ini memunculkan kesadaran bahwa pengetahuan merupakan hal yang penting bagi kehidupan manusia. Bahkan dengan pengetahuan manusia dapat mengatasi kehidupannya. Maka, selekas Copernicus (1473---1543) melontarkan teorinya (belakang hari, teori Copernicus ini dikenang dengan nama "revolusi copernican"), seorang Inggris, Sir Francis Bacon (1561---1626) pun berkata: "Knowledge is power!"
Pengetahuan adalah produk dari kegiatan berpikir manusia. Pengetahuan adalah hasil tahunya manusia akan sesuatu lewat kerja pikiran. Menurut Plato, pengetahuan adalah hasil interaksi antara pengamat dan yang diamati, di bwah bimbingan budi atau jiwa. Melalui pengetahuan, manusia menandai, memahami, dan menghayati keberadaannya. Melalui pengetahuan, manusia menamai, mengatasi, dan menciptakan lingungannya. Melalui pengetahuan, manusia membentuk dan menciptakan peradaban dan kebudayaannya. Melalui pengetahuan, manusia menetapkan keberadaannya sebagai subjek dari alam semesta. Inilah yang menjadi penyebab mengapa pengetahuan penting bagi manusia.
Penguasaan atas pengetahuan penting bagi manusia. Dengan menguasai pengetahuan, manusia dapat menjadi subjek yang mendominasi alam semesta atau pelbagai hal yang ada di dunia di luar dirinya. Dalam perkembangannya, kesadaran akan pentingnya keberadaan pengetahuan dalam kehidupan manusia semakin menemukan bentuknya yang solid. Di awali dengan perumusan kembali secara radikal terhadap objek-objek, metode-metode, dan fungsi-fungsi pengetahuan pada abad 17, pengetahuan manusia hadir dengan bentuknya yang baru: yang lebih logis, sistematis, dan empiris.
Pengetahuan yang timbul akibat dari perumusan kembali secara radikal pada abad 17 ini berbeda dengan pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Secara sederhana, pengetahuan yang timbul di abad 17 ini merupakan pengetahuan yang dalam perkembangannya akan dikenal dengan nama pengetahuan ilmiah atau pengetahuan keilmuan. Perbedaan antara pengetahuan abad 17 dan abad-abad sebelumnya juga dapat dilihat dari fungsinya. Pada abad-abad sebelumnya, pengetahuan digunakan untuk memahami alam semesta demi kelangsungan hidup yang harmoni dengan alam semesta. Pada pengetahuan abad 17, fungsi pengetahuan diletakkan sebagai alat manusia untuk mendominasi, mengekplorasi serta mengeksploitasi alam semesta.
Berubahnya orientasi pengetahuan ini, sedikit banyak, disebabkan oleh berubahnya orientasi berpikir manusia. Jika sebelum abad 17, kegiatan berpikir manusia hanya digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup manusia di alam semesta. Di abad 17 (atau semenjak abad 17), berpikir tidak lagi hanya menjadi alat untuk menjaga kelangsungan hidup manusia, tetapi lebih ditajamkan lagi, yakni sebagai alat manusia untuk menguasai alam semesta. Dengan dukungan menguatnya sekularitas dalam kehidupan manusia, maka proyek berpikir model ini mendapatkan kedudukannya yang mapan.
Kemampanan ini kian meningkat pada abad 18 dan 19. Di awali dengan bangkitnya cita-cita tunggal kebudayaan Eropa yang mendasarkan diri pada ilmu pengetahuan pada abad 18, kemapanan kedudukan ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia Eropa semakin kukuh dan tak tergoyahkan ketika Eropa memasuki abad 19. Bahkan ketika memasuki abad 20, cita-cita tunggal kebudayaan Eropa ini telah merembes ke pelbagai wilayah di luar Eropa.
Globalisasi yang dilakukan Eropa semenjak kisaran abad 15 membuat cita-cita tunggal kebudayaan Eropa ini dengan mudah dapat merembes ke pelbagai wilayah di luar Eropa. Abad 15 selain dikenal sebagai abad dimulainya gerakan globalisasi Eropa, dikenal juga sebagai abad munculnya zaman modern. Zaman modern merupakan zaman di mana subjektivitas dan rasionalitas manusia, serta kapitalisme dan ekspansi modal mendapat kedudukan yang penting untuk pertama kalinya dalam kehidupan manusia.
Kembali ke persoalan globalisasi, globalisasi adalah usaha pelenyapan jarak, penghilangan batas-batas negara-bangsa, internasionalisasi segala hal, dan homogenitas kebudayaan. Globalisasi mengakibatkan hilangnya identitas-identitas heterogen dan plural pada masyarakat dunia. Dalam melakukan globalisasinya, Eropa tidak bersandar pada dialektika yang bebas kepentingan. Globalisasi adalah Eropanisasi yang dipaksakan ke pelbagai wilayah yang disinggahinya.
Dalam globalisasi keberadaan wilayah-wilayah non-Eropa dipandang hanya sebagai konsumen dari apa yang diperoduksi Eropa. Sebagai konsumen, wilayah-wilayah non-Eropa itu hanya bisa mengonsumsi apa yang telah diproduksi Eropa. Sebagai konsumen, wilayah-wilayah non-Eropa tidak dapat turut serta dalam proses produksi ilmu pengetahuan Eropa yang mereka konsumsi. Akibatnya, sekeras dan sebesar apa pun usaha para konsumen tersebut dalam mengonsumsi ilmu pengetahuan yang menjadi konsumsinya, ilmu pengetahuan itu tetap menjadi milik Eropa.
Ini juga yang terjadi di Indonesia. Sebagaimana negara-negara Dunia Ketiga lainnya yang menjadi wilayah konsumen Eropa, ilmu pengetahuan yang merebak dan tumbuh-kembang di Indonesia juga merupakan produk Eropa yang datang pertama kalinya melalui kolonialisasi. Pelan tetapi pasti, lambat laun ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan ini memunculkan persoalan-persoalan bagi kehidupan manusia Indonesia.
Memang, telah ada beberapa usaha untuk menjadikan ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan ini menjadi milik bangsa-negara ini, misalnya dengan menetapkan strategi pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia yang visi dan orientasinya berpijak pada nilai-nilai Pancasila seperti yang pernah dilakukan oleh Koento Wibisono pada tahun 1994. Tetapi, usaha ini masih saja tidak dapat memecahkan persoalan-persoalan yang dimunculkan oleh ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan itu. Akibatnya, retakan-retakan dalam kebudayaan Indonesia akibat dari keberadaan ilmu pengetahuan Eropa yang bercokol, dan menghegemoni serta merepresi tradisi pengetahuan di Indonesia kian besar dan melebar.