Mohon tunggu...
Indra Tjahyadi
Indra Tjahyadi Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Panca Marga

saya orangnya sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Urgensi Pribumisasi Ilmu Pengetahuan

11 Agustus 2022   23:09 Diperbarui: 11 Agustus 2022   23:12 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Munculnya pelbagai konflik yang berakar pada perbedaan budaya yang ada di Indonesia merupakan fakta bahwa telah terjadi retakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri. Retakan ini muncul karena adanya krisis yang disebabkan oleh globalisasi.

Manusia, merujuk Aristoteles, adalah animale rationale (binatang berpikir). Kemampuan berpikir adalah kemampuan istimewa yang dimiliki manusia. Kemampuan ini adalah sesuatu yang khas, yang membedakan manusia dengan jenis-jenis binatang yang lain. Menurut Suriasumantri kemampuan ini bukan hanya yang mencirikan hakikat manusia tetapi juga yang membuat manusia jadi manusia.

Dalam keberadaannya, kegiatan berpikir manusia setidaknya memiliki dua cara: (a) berpikir secara filsafat; dan (b) berpikir secara pengetahuan ilmiah. Berpikir secara filsafat berbeda dengan berpikir secara ilmiah. Berpikir secara filsafat adalah berpikir secara rasional, sistematis, radikal dan kritis.

Berpikir secara rasional dalam filsafat artinya dalam berpikir, filsafat senantiasa mengandalkan kerja rasio. Maka, manusia yang berpikir menjadi penting dalam filsafat, sebab segala persoalan berusaha dipecahkan oleh filsafat dengan menggunakan pikiran. Tetapi, berpikir ini tidak sembarang berpikir, melainkan berpikir yang sistematis. Berpikir yang sistematis mengandung arti bahwa kegiatan berpikir tersebut menurut satu aturan tertentu, runut dan bertahap, serta diartikulasikan (entah dalam bentuk tulis atau lisan) dalam bentuk tertentu pula. Sistem ini memungkinkan pikiran-pikiran yang terartikulasi dapat dipahami.

Selain berpikir secara rasional dan sistematis, tadi telah disampaikan, bahwa filsafat juga mengandaikan berpikir secara radikal. Radikal berakar dari kata radix yang artinya akar. Berpikir radikal berarti berpikir sampai ke akarnya. Dalam menghadapi satu persoalan, filsafat tidak hanya berputar-putar di permukaan, tetapi filsafat berusaha menyelam sampai ke dasarnya, ke intinya. Inilah yang membuat filsafat menjadi radikal. Tetapi, radikalitas filsafat ini tidak akan bekerja dengan baik apabila tidak didukung oleh kemampuan kritis. Kemampuan kritis adalah kemampuan untuk menerima segala sesuatu tidak begitu saja. Kemampuan ini memungkinkan adanya evaluasi yang terus-menerus atas suatu hal. Selain itu, kemampuan kritis juga berarti kemampuan untuk melakukan suatu usaha secara aktif, sistematis, dan mengikuti prinsip-prinsip loghika, Maka, dalam menghadapi suatu persoalan, filsafat akan terus-menerus mengevaluasinya secara aktif dan terukur.

Tadi telah disampaikan bahwa selain berpikir secara filsafat, ada juga cara berpikir secara pengetahuan ilmiah. Secara umum, cara berpikir ilmiah adalah cara berpikir yang bersandar pada metode logis, empiris, hipotesis, dan verifikatif. Logis artinya setiap pikiran ilmiah berdasar pada kerja logika atau kerja pikiran. Ini karena pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang berdasar pada akal manusia, dan bukan pada perasaan. Berpikir ilmiah juga mengandaikan adanya metode empiris. Metode empiris menjadikan pengetahuan ilmiah tidak hanya pengetahuan yang dikenali lewat akal saja, melainkan pengetahuan yang timbul dari panca indra manusia. Empiris menuntut pengenalan objek secara pengalaman indrawi. Ini jelas berbeda dengan filsafat yang tidak memerlukan pengenalan secara pengalaman inderawi.

Setelah pengetahuan secara indrawi diperoleh, pengetahuan ilmiah harus menentukan hipotesis-hipotesisnya. Hipotesis-hipotesis ini penting bagi pengetahuan ilmiah. Hipotesis ini nantinya yang menjadi pusat dari terbentuknya pengetahuan ilmiah setelah dilakukan verifikasi yang merupakan pembuktian kebenaran dari hipotesis-hipotesis itu.

Tetapi, apa pun bentuk dan caranya, berpikir tetap saja menjadi hal penting bagi manusia. Melalui berpikir, manusia menandai keberadaannya di alam semesta. Adalah Thales (hidup pada kisaran abad 6 SM), dengan pernyataannya bahwa pada awalnya semuanya terbuat dari air, yang oleh para sejarawan filsafat dianggap sebagai orang pertama yang sadar akan hal ini. Pernyataan Thales yang berbunyi bahwa pada awalnya semanya terbuat dari air ini berkesan menggelikan apabila dibaca saat ini, tetapi melalui pernyataan inilah babak baru dalam kehidupan manusia dibuka. Babak di mana kelangsungan kehidupan manusia di alam semesta ditentukan oleh kemampuannya dalam berpikir.

Sejak pernyataan Thales ini, pelan tetapi pasti, keberadaan berpikir menjadi kian identik dengan manusia. Bahkan berpikir menjadi kebutuhan utama manusia dalam menjalani kehidupan. Dengan berpikir manusia, memenuhi segala hasrat keingintahuan yang ditimbulkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang muncul akibat dari rasa takjub yang dimilikinya. Dengan berpikir, manusia memecahkan segala halangan, persoalan, dan keterbatasan yang dimilikinya. Maka, pada kisaran abad 16, Descartes (1596---1650), seseorang yang kelak dikenal sebagai "bapak filsafat modern", setelah berhari-hari duduk bersuntuk sendirian di depan tungku di Jerman dengan lantangnya berkata: "Cogito ergo sum!" (saya berpikir maka saya ada). Sejak itulah, pernyataan Aristoteles bahwa manusia adalah mahluk berpikir menemukan momentumnya.

Tetapi, usaha berpikir agar dapat menjadi penanda bagi manusia bukannya timbul tanpa halangan. Halangan terbesar muncul pada Abad Pertengahan (atau yang biasa disebut para sejarawan filsafat: "Abad Kegelapan"). Pada abad itu, kegiatan berpikir manusia, yang pada masa sebelumnya (masa Yunani Kuno sampai masa Pasca-Sokrates) bebas berkeliaran dalam kehidupan manusia, harus dikekang, ditundukkan demi kepentingan sesuatu yang Ilahiah. Pada masa itu, kemampuan berpikir manusia benar-benar direpresi dan hanya boleh digunakan untuk kepentingan agama. Akibatnya, kehidupan manusia yang sebelumnya dengan susah payah dibangun dengan menggunakan terang berpikir murni menjadi runtuh, diganti dengan berpikir Ilahi. Kiranya, ini juga yang jadi penyebab mengapa oleh para sejarawan filsafat masa itu disebut Abad Kegelapan.

Tetapi, Abad Kegelapan tersebut, meskipun berlangsung lama (sejak abad 5---abad 14), ternyata tidak selamanya. Di penghujung awal abad 14 muncul reaksi yang mencoba untuk meruntuhkan represi yang diteguhkan oleh Abad Kegelapan. Sebenarnya, benih-benih reaksi yang nantinya menemukan bentuknya pada kisaran abad 15 dan 16 ini telah dipupuk semenjak pertengahan abad 14. Tumbuhnya masyarakat kapitalis awal, terpecahnya gereja-geraja, dan timbulnya Maut Hitam yang meluluh-lantakkan Eropa selama awal abad 15 dan 16 merupakan pemicu munculnya babak baru dalam kehidupan manusia yang disebut Renaissans.

Di zaman Renaissans, sekularitas kembali dalam kehidupan manusia. Sekularitas ini mendorong kembali terang berpikir murni ke dalam kehidupan manusia. Maka, berpikir kembali menjadi penanda keberadaan manusia di alam semesta. Maka, manusia kembali sadar bahwa berpikir adalah hal yang identik dengan manusia. Kehidupan manusia kembali ditentukan oleh kegiatan berpikir yang dilakukannya. Ini memunculkan kesadaran bahwa pengetahuan merupakan hal yang penting bagi kehidupan manusia. Bahkan dengan pengetahuan manusia dapat mengatasi kehidupannya. Maka, selekas Copernicus (1473---1543) melontarkan teorinya (belakang hari, teori Copernicus ini dikenang dengan nama "revolusi copernican"), seorang Inggris, Sir Francis Bacon (1561---1626) pun berkata: "Knowledge is power!"

Pengetahuan adalah produk dari kegiatan berpikir manusia. Pengetahuan adalah hasil tahunya manusia akan sesuatu lewat kerja pikiran. Menurut Plato, pengetahuan adalah hasil interaksi antara pengamat dan yang diamati, di bwah bimbingan budi atau jiwa. Melalui pengetahuan, manusia menandai, memahami, dan menghayati keberadaannya. Melalui pengetahuan, manusia menamai, mengatasi, dan menciptakan lingungannya. Melalui pengetahuan, manusia membentuk dan menciptakan peradaban dan kebudayaannya. Melalui pengetahuan, manusia menetapkan keberadaannya sebagai subjek dari alam semesta. Inilah yang menjadi penyebab mengapa pengetahuan penting bagi manusia.

Penguasaan atas pengetahuan penting bagi manusia. Dengan menguasai pengetahuan, manusia dapat menjadi subjek yang mendominasi alam semesta atau pelbagai hal yang ada di dunia di luar dirinya. Dalam perkembangannya, kesadaran akan pentingnya keberadaan pengetahuan dalam kehidupan manusia semakin menemukan bentuknya yang solid. Di awali dengan perumusan kembali secara radikal terhadap objek-objek, metode-metode, dan fungsi-fungsi pengetahuan pada abad 17, pengetahuan manusia hadir dengan bentuknya yang baru: yang lebih logis, sistematis, dan empiris.

Pengetahuan yang timbul akibat dari perumusan kembali secara radikal pada abad 17 ini berbeda dengan pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Secara sederhana, pengetahuan yang timbul di abad 17 ini merupakan pengetahuan yang dalam perkembangannya akan dikenal dengan nama pengetahuan ilmiah atau pengetahuan keilmuan. Perbedaan antara pengetahuan abad 17 dan abad-abad sebelumnya juga dapat dilihat dari fungsinya. Pada abad-abad sebelumnya, pengetahuan digunakan untuk memahami alam semesta demi kelangsungan hidup yang harmoni dengan alam semesta. Pada pengetahuan abad 17, fungsi pengetahuan diletakkan sebagai alat manusia untuk mendominasi, mengekplorasi serta mengeksploitasi alam semesta.

Berubahnya orientasi pengetahuan ini, sedikit banyak, disebabkan oleh berubahnya orientasi berpikir manusia. Jika sebelum abad 17, kegiatan berpikir manusia hanya digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup manusia di alam semesta. Di abad 17 (atau semenjak abad 17), berpikir tidak lagi hanya menjadi alat untuk menjaga kelangsungan hidup manusia, tetapi lebih ditajamkan lagi, yakni sebagai alat manusia untuk menguasai alam semesta. Dengan dukungan menguatnya sekularitas dalam kehidupan manusia, maka proyek berpikir model ini mendapatkan kedudukannya yang mapan.

Kemampanan ini kian meningkat pada abad 18 dan 19. Di awali dengan bangkitnya cita-cita tunggal kebudayaan Eropa yang mendasarkan diri pada ilmu pengetahuan pada abad 18, kemapanan kedudukan ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia Eropa semakin kukuh dan tak tergoyahkan ketika Eropa memasuki abad 19. Bahkan ketika memasuki abad 20, cita-cita tunggal kebudayaan Eropa ini telah merembes ke pelbagai wilayah di luar Eropa.

Globalisasi yang dilakukan Eropa semenjak kisaran abad 15 membuat cita-cita tunggal kebudayaan Eropa ini dengan mudah dapat merembes ke pelbagai wilayah di luar Eropa. Abad 15 selain dikenal sebagai abad dimulainya gerakan globalisasi Eropa, dikenal juga sebagai abad munculnya zaman modern. Zaman modern merupakan zaman di mana subjektivitas dan rasionalitas manusia, serta kapitalisme dan ekspansi modal mendapat kedudukan yang penting untuk pertama kalinya dalam kehidupan manusia.

Kembali ke persoalan globalisasi, globalisasi adalah usaha pelenyapan jarak, penghilangan batas-batas negara-bangsa, internasionalisasi segala hal, dan homogenitas kebudayaan. Globalisasi mengakibatkan hilangnya identitas-identitas heterogen dan plural pada masyarakat dunia. Dalam melakukan globalisasinya, Eropa tidak bersandar pada dialektika yang bebas kepentingan. Globalisasi adalah Eropanisasi yang dipaksakan ke pelbagai wilayah yang disinggahinya.

Dalam globalisasi keberadaan wilayah-wilayah non-Eropa dipandang hanya sebagai konsumen dari apa yang diperoduksi Eropa. Sebagai konsumen, wilayah-wilayah non-Eropa itu hanya bisa mengonsumsi apa yang telah diproduksi Eropa. Sebagai konsumen, wilayah-wilayah non-Eropa tidak dapat turut serta dalam proses produksi ilmu pengetahuan Eropa yang mereka konsumsi. Akibatnya, sekeras dan sebesar apa pun usaha para konsumen tersebut dalam mengonsumsi ilmu pengetahuan yang menjadi konsumsinya, ilmu pengetahuan itu tetap menjadi milik Eropa.

Ini juga yang terjadi di Indonesia. Sebagaimana negara-negara Dunia Ketiga lainnya yang menjadi wilayah konsumen Eropa, ilmu pengetahuan yang merebak dan tumbuh-kembang di Indonesia juga merupakan produk Eropa yang datang pertama kalinya melalui kolonialisasi. Pelan tetapi pasti, lambat laun ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan ini memunculkan persoalan-persoalan bagi kehidupan manusia Indonesia.

Memang, telah ada beberapa usaha untuk menjadikan ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan ini menjadi milik bangsa-negara ini, misalnya dengan menetapkan strategi pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia yang visi dan orientasinya berpijak pada nilai-nilai Pancasila seperti yang pernah dilakukan oleh Koento Wibisono pada tahun 1994. Tetapi, usaha ini masih saja tidak dapat memecahkan persoalan-persoalan yang dimunculkan oleh ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan itu. Akibatnya, retakan-retakan dalam kebudayaan Indonesia akibat dari keberadaan ilmu pengetahuan Eropa yang bercokol, dan menghegemoni serta merepresi tradisi pengetahuan di Indonesia kian besar dan melebar.

Kini, Indonesia telah menapak ke zaman baru: zaman posmodern. Zaman di mana konstruksi-konstruksi modern didekonstruksi, zaman di mana diferensiasi-diferensiasi zaman modern didediferensiasi. Zaman di mana pluralitas dirayakan kembali. Zaman di mana "komunikasi penguasaan" diganti dengan "komunikasi bebas penguasaan" disebarkan. Zaman di mana "demokrasi ortodoks" dihapus, diubah dengan "demokrasi radikal" ala Habermasian. Zaman di mana harapan baru akan kesetaraan bangkit ke depan, memimpin peradaban manusia. Bagi para konsumer ilmu pengetahuan Eropa di Indonesia, masuknya Indonesia ke zaman posmodern ini membersitkan harapan akan hadirnya ilmu pengetahuan yang tumbuh dari pendekatan dari bawah, dan bukannya yang dijatuhkan dari pendekatan dari atas seperti yang terjadi di zaman modern. Apalagi ini didukung oleh kemenangan Teori Kritis ala Habermas di Eropa yang mengembalikan otonomi dan tanggung jawab manusia melalui rasio yang memihak pada kepentingan emansipatoris. 

 

Kiranya, bersandar dan berpegang pada fenomena ini maka patutlah ditancapkan harapan setinggi-tingginya akan hadirnya model ilmu pengetahuan yang berkarakter Indonesia, atau setidaknya terjadinya pribumisasi ilmu pengetahuan Eropa yang natural dan tidak represif yang mengIndonesia. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun