Dan itu berhasil. Koalisi KMP (Koalisi Merah Putih) bubar jalan, kocar-kacir bak ditertibkan Satpol PP. Dan Golkar merapatkan barisan ke JKW. Â
Pada Pemilu 2019, JKW mendapat sentimen negatif dari kalangan islamis. Walhasil JKW pun menggaet KH Ma'ruf Amin (selanjutnya disebut KMA) yang notabenenya Ketua MUI dan Ra'is 'Aam PBNU. NU merupakan organisasi muslim terbesar di Indonesia.
Intervensi politik JKW terhadap kelompok islam membuahkan hasil. Pokok-nya kalau menolak JKW berarti dia non-Banser. Banser adalah pendukung NKRI (dan juga JKW).
Walaupun ada kelompok islam garis kiri yang tidak terjangkau atau tidak dijangkau. Di kali lain penulis akan membahasnya.
Yang ketiga adalah dengan menarik PBS ke dalam kabinet. Tentu saja agar porsi dukungan politik Gerindra dan pengikutnya tetap ke JKW. Tapi ini tidak semulus itu, Ferguso!
Sejumlah elemen Gerindra dan kelompok islam kiri yang masih membersamainya kerap mengkritik JKW. Kritik itu tetap konsisten hingga kini dilancarkan. Perlahan tapi pasti mendeligitimasi peran kepemimpinan JKW.
Terlebih lagi elite Gerindra seperti Fadli Zon yang istiqamah menelanjangi keputusan-keputusan pemerintah yang dinilainya tidak benar dan tidak baik.
Kerumitan Relasi Politik JKW dengan PBS juncto DKI Jakarta
Mulai dari era JKW yang menjabat Gubernur DKI Jakarta, kegubernuran DKI Jakarta menjadi bekal politik untuk ke istana. Tak hanya menjadi bekal politik, tapi ianya menjadi simbol perlawanan politik oposisi.
JKW sewaktu menakhodai Jakarta merepresentasikan simbol opisisi PDIP terhadap kekuatan eksisting Partai Demokrat juncto Pak Susilo Bambang Yudhoyono (selanjutnya disebut SBY).
Simbolisasi JKW vs SBY semakian kuat. Rivalitas ini di sisi lain sebagai ajang pencarian dukungan politik untuk pilpres di masa yang akan datang.