Mohon tunggu...
Galih Prasetyo
Galih Prasetyo Mohon Tunggu... Lainnya - pembaca

literasi

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Menyelaraskan Partitur dengan Teriakan Suporter di Stadion

4 Juli 2023   20:11 Diperbarui: 4 Juli 2023   20:15 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musik dan sepak bola - musicfootballfatherhood.com

Neil Diamond musisi kelahiran New York 82 tahun silam tak pernah menyangka lagu ciptaannya berjudul Sweet Caroline bergema di stadion sepak bola.

Mungkin tidak asing jika lagu We Are The Champions milik Queen yang bergema, tapi ini Sweet Caroline. Tak semua orang pernah dengar lagu itu.

11 Juli 2021, sebelum kick off laga Inggris vs Jerman di Stadion Wembley, suporter bersama-sama nyanyikan Sweet Caroline dengan gaya khas mereka.

Tak peduli seberapa tua lagu itu, suporter sepak bola dapat menghidupkannya kembali saat berada di stadion. Padahal Sweet Caroline dibuat Neil Diamond tak terinsipirasi atau berhubungan dengan sepak bola.

Ada dua versi cerita soal inspirasi Neil Diamond ciptakan Sweet Caroline. Kepada Associated Press, Diamond menyebut bahwa lagu itu ia ciptakan terinspirasi dari putri mendiang Presiden Amerika Serikat, John F Kennedy, Caroline.

Diceritakan Neil, saat menginap di sebuah hotel di Memphis, Amerika Serikat, di dalam kamarnya ia melihat sebuah majalah dengan sampul depan foto gadis cilik berusia 9 tahun. Gadis itu Caroline Kennedy Schlossberg.

"Itu adalah foto seorang gadis kecil yang memakai perlengkapan berkuda, (berdiri) di samping kuda poninya," ucap Diamond.

"Itu gambar yang polos dan indah, saya langsung merasa ada sebuah lagu di sana," sambungnya.

Sementara versi kedua menceritakan bahwa Sweet Caroline diciptakan Diamond terinspirasi dari sang istri. Diamond mengaku butuh tiga suku kata untuk bisa menyesuaikan melodi dengan lirik di lagu yang pada November 2014 kembali populer dan diunduh secara resmi di Amerika Serikat sebanyak dua juta kali.

Terlepas versi mana yang valid, Sweet Caroline faktanya sangat disukai penggemar olahraga. Kepopuleran lagu ini pada 2014 juga tak lepas dari penggemar bisbol.

Tim bisbol asal Boston, Red Sox kerap memutar lagu ini saat bertanding di markas sendiri, Fenway Park. Penonton sangat suka dan terus bernyayi bersama.

"Saya mereka menganggapnya (lagu) keberuntungan, fakta bahwa kemudian saya juga penggemar Red Sox," ungkap Diamond.

Kepopuleran Sweet Caroline di suporter Inggris memang hal baru. Faktanya, lagu ini sudah dinyanyikan suporter Irlandia Utara di stadion sejak 20 tahun lalu.

Meski begitu, apakah itu lagu lawas, lagu remix, soundtrack video gim, musik dan sepak bola saling menyelaraskan. Teriakan suporter di stadion punya makna mendalam dan keluar dari relung hati untuk tim yang mereka cintai.

Ada hubungan erat antara sepak bola dengan musik. Hubungan yang saling melengkapi dan membutuhkan.

Saat Musik Masuk ke Stadion

Ada hubungan antara permainan di lapangan hijau dengan musik. Jelas bahwa ini bukan fenomena modern dan berasal dari awal sejarah sepak bola itu sendiri.

Lagu dan nyanyian adalah suatu keharusan untuk suasana yang layak di stadion yang lebih dari sekedar melodi yang bagus. Musik di tribun stadion adalah identitas.

Setiap lagu yang didengdangkan suporter memiliki keunukan tersendiri. Faktanya, sejarah membuktikkan bahwa lagu sudah disuarakan sejak ratusan tahun di stadion.

Surat kabar Inggris Bath Chronicle pada 1894 menuliskan lagu-lagu dinyanyikan suporter sepak bola di Brighton Society.

Literasi sejarah lain mengungkap bahwa pada final Piala Skotlandia 1987, suporter nyanyikan lagu berjudul The Dooley Fitba Club yang ditulis oleh James Curran pada 1880.

Bagi suporter di masa itu, lagu bisa menghidupkan stadion saat pertandingan memasuki titik jenuh. Dalam lirik yang disuarakan mengalun indah semangat olahraga yang sebenarnya.

Di periode 1920-an, banyak pelaku sepak bola mengadopsi lagu dan jadikannya sebagai identitas mereka. Jurnalis The Guardian, Matthew Taylor menuliskan bahwa lagu-lagu di era itu diambil nadanya, lirik diadopsi jadi milik mereka.

Seiring berjalannya waktu, lagu-lagu itu kemudian tertanam dan berubah menjadi identitas klub yang mereka dukung.

Di sisi lain, lagu jadi cermin kondisi haru biru yang dialami suporter. Tergambar jelas di pendukung Manchester United.

Pada 1950-an, lagu You'll Never Walk Alone yang diciptakan Rogers dan Hammerstein, musisi Broadway pertama kali dinyanyikan pendukung Manchester United.

Fans Setan Merah itu menyanyikan lagu itu sebagai bentuk penghormatan kepada korban Tragedi Munich 1958. Meski di kemudian hari You'll Never Walk Alone jadi citra untuk rival Manchester United, Liverpool.

Menariknya, You'll Never Walk Alone tidak hanya jadi milik Liverpool semata. Fans Glasgow Celtic juga klaim bahwa lagu itu sudah mereka nyanyikan sejak 1966, saat klub kebanggaan mereka bermain di final Piala Winner.

You'll Never Walk Alone berisi pesan kemenangan bagi orang-orang di masa akhir Perang Dunia II. Lagu ini berisi lirik yang menyentuh hati dan pada akhirnya menemukan rumah permanen di Stadion Anfield.

Lagu ini faktanya pernah di-cover oleh Frank Sinatra dan Elvis Presley dan baru pada 1963, band Merseyside, Gerry and The Pacamakers membawanya ke dapur rekaman dengan versi pas untuk dinyanyikan di dalam stadion.

Bagi pendukung Liverpool, pesan tersirat di lagu ini memberikan harapan bagi mereka melalui masa-masa sulit, baik di dalam ataupun di luar lapangan.

Maju ke periode 1970-an dan 1980-an, musik di sepak bola memasuki era baru. Pada era ini, tidak hanya suporter yang bernyanyi tapi juga pemain seperti yang ditunjukkan penggawa Inggris menyanyikan lagu 'Back Home' jelang Piala Dunia 1970.

Back Home yang dinyanyikan oleh Gordon Banks dkk. Sayangnya pesan di lagu ciptaan Bill Martin dan Phil Coulter ini tak mampu diwujudkan di lapangan hijau. Inggris gagal membawa pulang Piala Dunia kembali ke rumah.

Pada Piala Dunia 1970, Inggris kalah 2-3 dari Jerman Barat, tim yang mereka kalahkan di final Piala Dunia 1966.

Memasuki 1980-an, sepak bola dan musik makin erat bergandengan tangan. Upaya untuk menyelaraskan partitur di lagu dengan suara suporter di stadion makin jelas terasa.

Pertandingan Piala Dunia, EURO ataupun final kompetisi kontinental seperti Liga Champions seperti jadi panggung bagi pemain untuk menguji pita suara mereka.

Dari We Have a Dream hingga Ossie's Dream yang dinyanyikan penggawa Tottenham Hotspur membuat musik menjadi bagian dari identitas klub, sepertinya hal logo, jersey dan syal.

Ekspresi Suporter Paling Tulus

Nyanyian sepak bola di stadion atau yang bisa kita sebut chant, terdengar seperti hanya teriakan keras atau kata-kata pendek. Namun tak sekedar itu, chant biasanya berupa lirik pendek dan terkadang lagu yang lebih panjang.

Suporter nyanyikan chat berulang-ulang, terkadang disertai dengan tepuk tangan dan alat musik dan aksi koreografi. Chant seperti disebut di atas sudah dilakukan sejak akhir abad ke-19.

Ditilik lebih dalam, penyanyi folk Martin Carthy menyebut bahwa chant di sepak bola adalah satu-satunya perwujudan tradisi rakyat yang hidup secara organik di tengah masyarakat.

Chant juga ekspresi paling tulus suporter di ruang publik dengan unik dan memiliki identitas kolektif. Meski tak bisa dipungkiri, aspek kontroversial juga ada di pertautan antara musik di suporter sepak bola.

Ini tergambar dari nyanyian anti-semit suporter Tottenham Hotspur. Nyanyian anti-semit juga disuarakan suporter klub Argentina, Club Atltico Atlanta di tahun 1960-an serta sebagian suporter Ajax di awal 1970-an. Ini nada sumbang yang biasa kita dengar di sebuah lagu.

Di luar fakta negatif, keberadaan partitur lagu di lingkungan sepak bola juga menciptakan akulturasi budaya yang tak bisa dipisahkan.

Kebiasaan suporter melakukan tur alias away days, tidak hanya menciptakan rasa kekerabatan dan kebersamaan. Lebih dari itu, muncul pertukaran budaya, utamanya dari sisi musikalitas.

Contohnya bisa kita lihat dari nyanyian 'Seven Nation Army' milik duo rock Amerika Serikat, The White Stripes yang diadopsi suporter Club Brugge pada 2003. Lagu ini kemudian menyebar secara organik saat suporter Italia ke Belgia hingga akhirnya menajdi lagu tak resmi penggemar Gli Azzurri.

Lagu bagi suporer sepak bola adalah bentuk ekspresi kepercayaan diri dan optimisme kepada tim yang mereka dukung untuk memenangkan pertandingan, utamanya di tempat-tempat seperti Stadion Wembley.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun