Mohon tunggu...
Galih Prasetyo
Galih Prasetyo Mohon Tunggu... Lainnya - pembaca

literasi

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Pantaskah Sepak Bola Identik dengan Kekerasan?

16 September 2018   19:15 Diperbarui: 16 September 2018   19:28 1113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi sebenarnya pemain di Indonesia tak perlu malu jika banyak catatan kekerasan di sepakbola negeri ini melibatkan mereka, seperti kasus terbaru yang melibatkan pemain Persiwa Wamena di Liga 2 Wilayah Timur, Sabtu, 15 September 2018.

Seperti laporan dari goal.com, sejumlah pemain Persiwa Wamena terlibat aksi kekerasan dengan wasit yang memimpin karena tak terima diganjar hukuman penalti.

Wasit Abdul Razak yang memimpin pertandingan layaknya maling ayam yang ketangkap warga, ia mendapat tendangan serta pukulan. Pemain Persiwa, Aldo Claudio tertangkap kamera dengan jelas memukul kepala Razak, sementara rekannya yang lain ikut menendang.

Namun bedanya jika kekerasan antar pemain Serbia dan Albania didasari faktor sejarah masa lalu kedua negara yang kelam, di Indonesia disebabkan para pemainnya tak menghargai semangat fair play.

Lantas apakah bisa menghilangkan kekerasan dari sepakbola? Saya berpendapat hal itu tak mungkin dilakukan. Solusinya ialah bagaimana mengemas aksi kekerasan itu ke level yang tidak brutal.

Saya justru tertarik dengan usulan dari Igor Lebedev, anggota parlemen di Rusia. Ia menyebut bahwa kekerasan di sepakbola, utamanya kekerasan antar suporter bisa dikemas menjadi olahraga baru draka yakni pertarungan antar suporter.

Di Rusia memang dikenal 'budaya' draka antar suporter yakni pertarungan tangan kosong antara 10-20 suporter berbeda di tempat yang sudah ditentukan. Ada aturan-aturan tak tertulis saat draka dilakukan oleh para suporter, seperti tak boleh menyerang lawan yang sudah tersungkur ke tanah.

Lebedev melihat bahwa jika energi besar dari para suporter ini bisa disalurkan lewat draka. Mereka tak menghilangkan identitasnya sebagai suporter sepakbola, mereka hanya melampiaskan energi berlebih mereka ke arena baku pukul.

"Hal ini menurut saya bisa mengubah agresi para suporter menjadi tindakan perdamaian setelahnya," kata Lebedev.

Saya lebih sependapat dengan Lebedey, meski ia dikenal sebagai politisi garis kanan yang kontroversial di Rusia, namun solusi itu lebih bisa diterima dibanding melibatkan aparat bersenjata untuk menghentikan kekerasan antar suporter.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun