Mohon tunggu...
Galih Prasetyo
Galih Prasetyo Mohon Tunggu... Lainnya - pembaca

literasi

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Pantaskah Sepak Bola Identik dengan Kekerasan?

16 September 2018   19:15 Diperbarui: 16 September 2018   19:28 1113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dengan suara menggelegar mereka nyanyikan lagu pujian tentang pembantaian kami. Lutut kami berkubang darah orang Feni" begitu chant yang biasa dinyanyikan orang Rangers - orang Feni ialah mereka yang menjadi pendukung Celtic.

Penyebab tak jauh berbeda juga yang mendorong suporter Red Star di Serbia lakukan kekerasan. Soal konflik sepakbola di negeri pecahan Yugoslavia ini dijelaskan dengan sangat lugas oleh Franklin Foer dalam bukunya yang berjudul 'Memahami Dunia Lewat Sepakbola'.  

Tak hanya di Serbia, Foer memiliki banyak faktor penguat bahwa budaya dan politik menjadi pendorong utama terjadinya kekerasan di sepakbola. Namun jika merujuk pada karya Foer, kita juga bisa melihat ada perbedaan penyebab jika bicara kekerasan sepakbola di negara dunia ketiga.

Foer misalnya memaparkan bagaimana budaya korupsi dan mafia di sepakbola Brasil membuat banyak suporter muak. Mayoritas mereka yang menonton Liga Brasil di stadion ialah kaum menengah ke bawah.

Mereka harus menyisihkan pendapatan tak seberapa untuk bisa menonton di stadion. Perjuangan demi klub kesayangan. Sayang mereka harus melihat bahwa pertandingan sudah diatur demi kepentingan para mafia sepakbola di federasi.

Pelariannya mereka mencari pihak yang bisa mereka lampiaskan, tentu saja pihak itu juga suporter yang merasakan ketidakadilan serupa. Ini jadi solusi buat mereka karena tak mungkin bagi mereka berhadapan-hadapan dengan para mafia yang memiliki banyak backing aparat keamanan.

Sebenarnya suporter Indonesia tak perlu malu jika banyak dikritik karena membudayakan kekerasan. Suporter Indonesia tak perlu malu jika ada kematian rekannya di stadion usai menonton sepakbola misalnya, di negara Barat juga terjadi.

Namun yang berbeda hanya soal cara melakukan kekerasan antar suporter di Indonesia dengan di luar negeri. Kebanyakan kekerasan yang terjadi di Inggris misalnya, tidak terjadi di sekitar stadion karena bagi fans di Inggris, stadion ialah tempat sakral yang tak boleh dicemari dengan aksi berdarah - meski sekarang hal itu juga sudah luntur, tengok saja kasus kekerasan di Stadion Riverside, markas Middlesbrough pada Agustus 2017 lalu. 

Pun di Inggris atau di Italia tak ada suporter yang dikeroyok rekannya sendiri seperti kematian suporter Persib, Ricko Andrean, atau suporter harus melawan aparat yang berpura-pura menjadi suporter misalnya, seperti kasus kematian suporter Persita Tangerang beberapa waktu lalu.

Kekerasan di sepakbola pun jika melihat secara detail tidak hanya domain para suporter. Lihat saja pertandingan antara Albania vs Serbia di babak kualifikasi Piala Eropa 2016. 

Kita juga pernah melihat bagaimana pemain seperti Eric Cantona serta Evra menendang suporter, atau Andriano terlibat bakul pukul dengan pemain Valencia saat ia masih membela Inter Milan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun