Mohon tunggu...
Galih Prasetyo
Galih Prasetyo Mohon Tunggu... Lainnya - pembaca

literasi

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Pantaskah Sepak Bola Identik dengan Kekerasan?

16 September 2018   19:15 Diperbarui: 16 September 2018   19:28 1113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bentrok suporter sepakbola | getty images

Sepakbola identik dengan kekerasan. Siapa yang bisa membantah pernyataan itu. Hampir di semua penjuru bumi, selalu ada kekerasan atas nama sepakbola.

Bahkan di negara yang memiliki tingkat kriminalitas terendah, Swiss juga terjadi kekerasan berlatar sepakbola. Tengok saja laga antar FC Basel vs FC Zurich, selalu berakhir dengan kekerasan.

Kekerasan dan sepakbola seperti sudah menjadi satu kesatuan. Sulit terpisahkan. Tak heran jika Margaret Thatcher sempat mengeluarkan larangan bermain sepakbola di Inggris usai tragedi Heysel 1985.

Politikus berjuluk Wanita Tangan Besi itu sudah tak bisa lagi mentolerir kekerasan demi kekerasan yang dilakukan para hooligan Inggris.

"Kami pastikan permainan sepakbola dihentikan terlebih dahulu sebelum hooliganisme dibersihkan. Setelah itu, mungkin baru sepakbola kita bisa bermain di luar negeri lagi," kata Margaret seperti dinukil dari thesun.co.uk

Kekerasan di sepakbola memang tak mengenal batasan, bisa terjadi di negara yang katanya maju secara peradaban dan teknologi, juga bisa terjadi di negara dunia ketiga. Soal kadar kekeasannya pun tak jauh berbeda.

Banyak kajian sosilogis soal pertautan kekerasan dan sepakbola. Apa yang menyebabkan hal itu terjadi? Faktor-faktor pendorong kekerasan jadi bagian dari sepakbola? Solusi konkrit apa yang bisa dilakukan untuk menghentikan kekerasan dari sepakbola? dan masih banyak pertanyaan lainnya.

Jika menilik dari kacamata fanatisme, kita akan melihat bahwa suporter sepakbola bisa melakukan kekerasan bisa didorong karena faktor sosial budaya dan ekonomi.

Si suporter melihat bahwa sepakbola ialah olahraga keras, olahraga lelaki kaum pekerja, olahraga bagi komunitasnya dan klub sepakbola yang mereka dukung sebagai bagian hidup dan citra diri. Saat klub yang mereka cintai diusik, solusinya hanyalah lewat cara kekerasan.

Faktor budaya dan sejarah politik masa lalu juga menjadi pendorong aksi kekerasan di lapangan hijau. Faktor ini banyak kita temui di sejumlah kekerasan yang terjadi di negara-negara Eropa.

Sejarah sekterian misalnya menjadi pendorong bagi suporter Glasgow Celtic menghujani tubuh suporter Glasgow Rangers dengan pukulan dan tendangan. Begitu juga sebaliknya.

"Dengan suara menggelegar mereka nyanyikan lagu pujian tentang pembantaian kami. Lutut kami berkubang darah orang Feni" begitu chant yang biasa dinyanyikan orang Rangers - orang Feni ialah mereka yang menjadi pendukung Celtic.

Penyebab tak jauh berbeda juga yang mendorong suporter Red Star di Serbia lakukan kekerasan. Soal konflik sepakbola di negeri pecahan Yugoslavia ini dijelaskan dengan sangat lugas oleh Franklin Foer dalam bukunya yang berjudul 'Memahami Dunia Lewat Sepakbola'.  

Tak hanya di Serbia, Foer memiliki banyak faktor penguat bahwa budaya dan politik menjadi pendorong utama terjadinya kekerasan di sepakbola. Namun jika merujuk pada karya Foer, kita juga bisa melihat ada perbedaan penyebab jika bicara kekerasan sepakbola di negara dunia ketiga.

Foer misalnya memaparkan bagaimana budaya korupsi dan mafia di sepakbola Brasil membuat banyak suporter muak. Mayoritas mereka yang menonton Liga Brasil di stadion ialah kaum menengah ke bawah.

Mereka harus menyisihkan pendapatan tak seberapa untuk bisa menonton di stadion. Perjuangan demi klub kesayangan. Sayang mereka harus melihat bahwa pertandingan sudah diatur demi kepentingan para mafia sepakbola di federasi.

Pelariannya mereka mencari pihak yang bisa mereka lampiaskan, tentu saja pihak itu juga suporter yang merasakan ketidakadilan serupa. Ini jadi solusi buat mereka karena tak mungkin bagi mereka berhadapan-hadapan dengan para mafia yang memiliki banyak backing aparat keamanan.

Sebenarnya suporter Indonesia tak perlu malu jika banyak dikritik karena membudayakan kekerasan. Suporter Indonesia tak perlu malu jika ada kematian rekannya di stadion usai menonton sepakbola misalnya, di negara Barat juga terjadi.

Namun yang berbeda hanya soal cara melakukan kekerasan antar suporter di Indonesia dengan di luar negeri. Kebanyakan kekerasan yang terjadi di Inggris misalnya, tidak terjadi di sekitar stadion karena bagi fans di Inggris, stadion ialah tempat sakral yang tak boleh dicemari dengan aksi berdarah - meski sekarang hal itu juga sudah luntur, tengok saja kasus kekerasan di Stadion Riverside, markas Middlesbrough pada Agustus 2017 lalu. 

Pun di Inggris atau di Italia tak ada suporter yang dikeroyok rekannya sendiri seperti kematian suporter Persib, Ricko Andrean, atau suporter harus melawan aparat yang berpura-pura menjadi suporter misalnya, seperti kasus kematian suporter Persita Tangerang beberapa waktu lalu.

Kekerasan di sepakbola pun jika melihat secara detail tidak hanya domain para suporter. Lihat saja pertandingan antara Albania vs Serbia di babak kualifikasi Piala Eropa 2016. 

Kita juga pernah melihat bagaimana pemain seperti Eric Cantona serta Evra menendang suporter, atau Andriano terlibat bakul pukul dengan pemain Valencia saat ia masih membela Inter Milan. 

Jadi sebenarnya pemain di Indonesia tak perlu malu jika banyak catatan kekerasan di sepakbola negeri ini melibatkan mereka, seperti kasus terbaru yang melibatkan pemain Persiwa Wamena di Liga 2 Wilayah Timur, Sabtu, 15 September 2018.

Seperti laporan dari goal.com, sejumlah pemain Persiwa Wamena terlibat aksi kekerasan dengan wasit yang memimpin karena tak terima diganjar hukuman penalti.

Wasit Abdul Razak yang memimpin pertandingan layaknya maling ayam yang ketangkap warga, ia mendapat tendangan serta pukulan. Pemain Persiwa, Aldo Claudio tertangkap kamera dengan jelas memukul kepala Razak, sementara rekannya yang lain ikut menendang.

Namun bedanya jika kekerasan antar pemain Serbia dan Albania didasari faktor sejarah masa lalu kedua negara yang kelam, di Indonesia disebabkan para pemainnya tak menghargai semangat fair play.

Lantas apakah bisa menghilangkan kekerasan dari sepakbola? Saya berpendapat hal itu tak mungkin dilakukan. Solusinya ialah bagaimana mengemas aksi kekerasan itu ke level yang tidak brutal.

Saya justru tertarik dengan usulan dari Igor Lebedev, anggota parlemen di Rusia. Ia menyebut bahwa kekerasan di sepakbola, utamanya kekerasan antar suporter bisa dikemas menjadi olahraga baru draka yakni pertarungan antar suporter.

Di Rusia memang dikenal 'budaya' draka antar suporter yakni pertarungan tangan kosong antara 10-20 suporter berbeda di tempat yang sudah ditentukan. Ada aturan-aturan tak tertulis saat draka dilakukan oleh para suporter, seperti tak boleh menyerang lawan yang sudah tersungkur ke tanah.

Lebedev melihat bahwa jika energi besar dari para suporter ini bisa disalurkan lewat draka. Mereka tak menghilangkan identitasnya sebagai suporter sepakbola, mereka hanya melampiaskan energi berlebih mereka ke arena baku pukul.

"Hal ini menurut saya bisa mengubah agresi para suporter menjadi tindakan perdamaian setelahnya," kata Lebedev.

Saya lebih sependapat dengan Lebedey, meski ia dikenal sebagai politisi garis kanan yang kontroversial di Rusia, namun solusi itu lebih bisa diterima dibanding melibatkan aparat bersenjata untuk menghentikan kekerasan antar suporter.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun