Bagi sebagian orang di negeri ini, September 1965 ialah bagian sejarah kelam perjalanannya sebagai manusia, namun bagi sebagian lagi menganggap September 1965 ialah titik dimana mereka justru merasakan kemenangan. Kemenangan yang mereka raih dengan mengorbankan jutaan saudara mereka sendiri.
September 1965 menjadi awal waktu bagi bangsa ini masuk ke era kegelapan. Era di mana bangsa ini kemudian dipimpin oleh rezim selama 32 tahun.Â
Rezim yang menanamkan bom waktu, dan ledakannya saat ini kita rasakan sama-sama. Indonesia di era 60-an memang berada di kondisi genting, di satu sisi negara ini dianggap sebagai negara paling berani dengan menantang Amerika Serikat sebagai negara adi kuasa, namun di sisi lain Indonesia justru berada di ambang kehancuran karena aksi beraninya tersebut.
Ir Soekarno yang saat itu tengah berada di kondisi megalomaniak mengambil keputusan cukup riskan terkait kebijakan politik dalam negeri.Â
Soekarno saat itu menyatukan semua paham politik saat itu dengan konsep Nasakom. Konsep yang sebenarnya sudah dikumandangkan Soerkano sejak 1926, melalui artikel yang ia tulis dengan judul, 'Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Tiga aliran itu, kata Sukarno, merupakan kekuatan politik utama dalam pergerakan kemerdekaan di Indonesia. Nah, dalam kerangka melawan kolonialisme, penyatuan tiga aliran itu menjadi mutlak adanya.
Membaca peta perpolitikan dunia saat itu yang tengah memasuki Perang Dingin, konsep Nasakom kembali dikumandangkan oleh Soerkano pada era 60-an. Konsep ini tentu saja membuat bahagia, Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai yang sempat kena bredel oleh Soekarno pasca Madiun 1948 ini seperti mendapat angin segar dari kebijakan Soerkarno tersebut.
Kondisi perpolitikan Indonesia yang memberi ruang bebas untuk PKI tentu saja membuat gerah Amerika Serikat. Presiden Amerika Serikat saat itu, Lyndon Baines Johnson sempat mengatakan bahwa jika halaman depan kita (Vietnam) sudah masuk ke dalam ranjau Komunis maka jangan sampai halaman belakang kita (Indonesia) juga mengalaminya.
Operasi intelejen pun dilakukan Amerika Serikat. Fakta bahwa operasi intelejen Amerika Serikat di tragedi 1965 ini awalnya dibantah oleh banyak pihak di negeri ini, namun dokumen CIA yang bisa dibuka 30 tahun kemudian ke publik pada 2017 lalu itu menerangkan secara detail bagaimana CIA begitu konsen terhadap perpolitikan di Indonesia.
Dalam dokumen berjudul The Presidents Daily Brief dijelaskan bagaimana hari-hari sebelum peristiwa G30S meletus direkam secara detail oleh CIA. Misal, pada 02 September 1965 dalam laporan itu disebutkan bahwa Sukarno makin genjar mengkampanyekan semangat anti barat.
"Dia memerintahkan orang-orangnya membuat konferensi internasional bertema 'anti pangkalan militer' pada bulan Oktober. Panitia persiapannya dikepalai oleh pakar hubungan luar negeri dari PKI. Sejauh ini terindikasi kalau konferensi ini akan mempersoalkan pangkalan militer AS. Di ranah domestik, kelompok Komunis dan pendukungnya terpacu dengan pidato Sukarno terakhir, dan siap menggebuk kelompok anti-Komunis." tulis laporan CIA tersebut.
Lalu pada 14 September 1965, laporan CIA menuliskan soal unjuk rasa pro komunis yang berlangsung di Medan dan Surabaya. "Unjuk rasa pro-Komunis, didukung pemerintah, terus menekan Konjen AS di Medan dan Surabaya.
Sebagai tambahan, (KALIMAT DISENSOR) PKI melaporkan bermaksud berunjuk rasa melawan Kedubes AS di Jakarta. Sebuah 'pusat kendali' untuk aksi ini sudah dibuat di belakang rumah dinas Menlu Subandrio. Subandrio menunjukan sikap tidak tahu malu kepada Dubes Green kemarin, dengan meminta Green yakin kalau perusakan properti milik AS atau pelecehan terhadap pegawai AS akan dihindari." tulis laporan tersebut.
Yang menarik dari laporan tersebut ialah tertanggal 1 dan 13 September 1965 tertulis disensor seluruhnya. Entah apa yang tertulis di laporan tersebut di dua tanggal tersebut.
Dari laporan tersebut, kita sebenarnya bisa melihat bagaimana kepanikan dan kalimat hiperbola yang tertuang mengenai kondisi Indonesia sebelum peristiwa G30S meletus. Pihak CIA sepertinya ingin agar laporan tersebut bisa langsung diputuskan oleh pemerintahnya dengan langkah tepat. Maka kemudian tak salah jika pernyataan dari perwira intelejen AURI, Letkol Heru Atmodjo yang menyebut bahwa ada peran besar dari para pejabat intelejen dan diplomat Amerika Serikat sebelum G30S meletus ada benarnya.
Dalam wawancara dengan penulis beberapa tahun lalu, (Alm) Letkol Heru Atmodjo memaparkan bagaimana peristiwa 1 Oktober 1965 sangat bertautan dengan peristiwa yang terjadi selama perang dingin. Ia juga menjelaskan bagaimana keterlibatan Amerika Serikat merancang peristiwa ini untuk menjatuhkan dua kekuataan sekaligus yaitu Soekarno dan PKI.
Menurut keterangan Heru Atmodjo, para pejabat Amerika Serikat yaitu ; Averell Harriman, William Bundy, Howard P. Jones, mantan Duta Besar untuk Indonesia, dan Elsworth Bunker, Utusan Khusus Presiden Lyndon B. Johnson, dengan pangkat Duta Besar melakukan pertemuan pada bulan Marer 1965 di Manila, Filipina membicarakan rencana untuk melakukan aksi menjatuhkan PKI dan Soekarno.
Kesimpulan akhir pada pertemuan ini ialah bagaiaman merancang suatu aksi untuk memancing PKI menggali lubang kehancurannya sendiri, dan menjatuhkan Soekarno dari tampuk kekuasaan. Amerika Serikat kemudian merancang suatu aksi yang kemudian dijalankan oleh para perwira militer yang pro Amerika Serikat dan anti Komunis.
Dari keterangan Heru Atmodjo ini jika di bandingkan dengan fakta-fakta yang diungkapkan oleh John Roosa dalam bukunya "Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September, Kudeta Soekarno" terdapat kesamaan yaitu adanya sebuah aksi yang memang sengaja dirancang untuk gagal yang kemudian berakibat kepada hancurnya PKI dan Soekarno.Â
Di dalam bukunya John Roosa memaparkan bagaimana terjadinya persekutuan AD dengan Amerika Serikat, pasca kegagalan pemberontakan PRRI/Permesta yang dibiayai oleh CIA membuat Amerika Serikat mengubah arah politiknya.
Amerika Serikat mulai memperhalus strateginya untuk menghancurkan Soekarno dan PKI. Di dalam sebuah dokumen Dewan Keamanan Nasional (NSC) mengenai laporan khusus tentang Indonesia pada Januari 1959, dipaparkan bahwa Presiden Eisenhower untuk terus memperkuat hubungan AS dengan tentara Indonesia anti komunis agar institusi ini mampu memerangi kiprah kaum komunis.
Bermula dari hal itulah kemudian banyak perwira AD yang mengikuti program militer di AS di sekolah-sekolah seperti di Fort Bragg dan Fort Leavenworth. Amerika Serikat bahkan dari tahun 1958 -- 1965 memberikan bantuan dana sebesar $10 - $ 20 juta kepada militer Indonesia khususnya kepada AD.
Kondisi ini tent saja juga membuat PKI yang saat itu dipimpin tokoh mudanya yang oportunis, Dipa Nusantara Aidit mengambil tindakan provokatif juga kepada tubuh AD. Perseturan AD dengan PKI ini semakin memanas beberapa hari menjelang terjadinya 1 Oktober 1965, pada permulaan tahun 1965 Jenderal Yani di depan Resimen Yogya menerangkan hanya ada satu partai Pancasila, dan alat penghubung dengan massa yang dapat diandalkan oleh AD yakni SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia).
Soksi ini dibuat untuk menandingi SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Sosialis Indonesia) buatan PKI. Salah satu petinggi PKI, Sudisman di dalam Pledoi juga menjelaskan terkait perseteruan AD dengan PKI, menurut pembelaan Sudisman setelah PKI merayakan HUT ke 45, AD menyebarkan isu bahwa PKI bukan hanya menunjukan kekuatannya namun juga menunjukan gigi nya untuk melakukan 'tindakan' terhadap Negara ini.
Provokasi AD terhadap PKI kemudian berlanjut, SUAD I tertanggal 12 Juni 1965 akan yakni edaran yang pokoknya memperingatkan bahwa yang terjadi di daerah-daerah terutama di Jatim/Jateng bukannya konsultasi Nasakom tetapi konfrontasi Nasakom dan masalah tanah menjadi hangat. Oleh karena itu disimpulkan supaya para pejabat baik sipil maupun militer untuk tidak menggunakan istilah-istilah seperti integrasi dengan rakyat, sebab penggunaan istilah semacam itu sudah memihak dan mengawasi pelaksanaan landreform.
Akhirnya pada 01 Oktober 1965, provokasi itu menyampai puncaknya. Aksi yang dilakukan pasukan Cakrabirawa kepada para pejabat tinggi AD membuat banjir darah terjadi di negeri ini setelahnya.
Hingga kini fakta sesungguhnya peristiwa tersebut masih berkabut. Pun dengan fakta sejarah bahwa setelah malam kelam 01 Oktober 1965 terjadi pembantaian juga hanya menjadi cerita yang tak sepenuhnya seluruh masyarakat Indonesia percaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H