Di sinilah aku. Di stasiun kereta di wilayah Jakarta. Stasiun yang dominan berwarna hijau ini begitu besar. Ini perjalanan keduaku menggunakan kereta. Tapi, baru kali ini, aku pergi ke tempat tujuan seorang diri. Tanpa orang tua. Tanpa pendamping. Hanya seorang diri dengan perlindungan dari Sang Pencipta.
Orang tuaku punya dua rasa. Khawatir sekaligus bangga. Khawatir karena tidak ada satu pun yang tahu apa yang akan terjadi dalam perjalanan ini. Bangga karena anak mereka mau melihat dunia dengan matanya sendiri.
Aku meyakinkan mereka bahwa aku bisa. Anak mereka bisa untuk memulai pengalamannya yang baru.
Ah. Stasiun, ya. Tempat yang selalu ramai dan tiada hari libur.
Aku punya banyak waktu kala menunggu keretaku tiba. Aku punya banyak waktu untuk melihat setiap manusia. Aku punya banyak waktu untuk merenung.
Aku melihat banyak yang datang dan banyak pula yang pergi. Ada rasa rindu dan haru kala melepas dan menjemput orang terkasih. Ada rasa hampa kala tahu tidak ada yang menunggumu pergi dan kembali.
Aku ikut sedih kala melihat ada orang-orang yang hanya seorang diri muncul dari balik peron. Sering kali kutemui mereka hanya menunduk menatap ponsel mereka, lalu bergegas untuk keluar dari stasiun.
Tak banyak pula yang masih mencari-cari orang yang setidaknya mau menyambut mereka. Tapi, nihil. Yang ada hanya para bapak taksi yang menawari jasa.
Ketika aku melihat banyak manusia di stasiun, aku bertanya-tanya apa yang mereka pikirkan? Mengapa aku bisa merasakan atmosfer yang berbeda di sini?
Kamu tahu, aku tidak kehilangan apa pun, tapi entah mengapa ada rasa sedih dan haru yang selalu menggantung di langi-langit stasiun. Seakan rasa itu tetap abadi di sana. Seakan rasa itu menjadi tanda bahwa kita, manusia sudah seharusnya menghargai setiap pertemuan dan perpisahan.
Begitulah cara kerja kehidupan. Kamu bisa memahami bahwa sebenarnya kita bertemu di satu titik, lalu berpisah di titik lain.