Why: Mengapa Aristoteles menganggap keutamaan moral sangat penting dalam kepemimpinan?
Aristoteles menyebutkan dua jenis keutamaan, salah satunya adalah keutamaan moral. Menurut Aristoteles, keutamaan merupakan watak yang memungkinkan manusia memilih jalan tengah di antara dua ekstrem yang berlawanan. Dengan kata lain, keutamaan merupakan jalan tengah antara kelebihan dan kekurangan.Â
Dalam Buku II, bab 4, Aristoteles mendefinisikan kebajikan moral sebagai hexis. Ia menegaskan hal ini dengan memeriksa unsur-unsur dalam jiwa, mengesampingkan perasaan yang bersifat pasif dan dorongan alami yang sudah kita miliki, untuk kemudian menemukan bahwa kebajikan tidak terletak pada tindakan itu sendiri, tetapi pada individu yang melakukannya. Ini adalah pernyataan penting yang menjadi dasar keseluruhan Etika.Â
Aristoteles berpendapat bahwa tidak ada tindakan yang baik, adil, atau berani karena kualitas yang melekat pada tindakan tersebut. Kebajikan hanya terwujud dalam tindakan ketika seseorang melakukannya sambil mempertahankan diri dalam cara tertentu. Di sinilah istilah hexis muncul, yang berasal dari ps echn, yaitu sikap seseorang dalam bertindak.Â
Habitus bahasa Latin adalah terjemahan yang sangat baik dari bahasa Yunani hexis , tetapi jika jalan memutar itu membawa kita ke habit dalam bahasa Inggris, kita telah kehilangan arah. Faktanya, hexis pada dasarnya adalah kebalikan dari habit.
Tindakan dianggap berbudi luhur hanya jika seseorang menjaga keseimbangan jiwa yang stabil, memilih tindakan itu dengan sadar dan karena tindakan itu sendiri. Istilah bebais kai ametakints diterjemahkan sebagai "dalam keseimbangan yang stabil," di mana bebais berarti stabil atau setelah mengambil sikap, dan ametakints tidak berarti kaku, tetapi merujuk pada kondisi yang tidak mudah diubah.Â
Ini bukan kepatuhan kaku terhadap aturan atau tugas, melainkan seperti roda Newton yang seimbang atau mainan yang selalu kembali tegak setelah dijatuhkan. Keseimbangan jiwa yang stabil ini adalah apa yang kita sebut sebagai karakter. Â
Banyak teori kepemimpinan kontemporer seperti "kepemimpinan moral," "kepemimpinan yang bertanggung jawab," "kepemimpinan autentik," atau "kepemimpinan transformasional" menekankan pentingnya motivasi intrinsik dari pengikut serta kepemimpinan dengan teladan. Mereka juga menolak penggunaan kekuasaan dan manipulasi, serta mendukung nilai-nilai seperti kesederhanaan dan perhatian terhadap kesetaraan.Â
Namun, jika kita fokus pada kebajikan kemurahan hati (sebagaimana dipahami oleh Aristoteles), ada argumen yang dapat dibuat bahwa pemimpin yang ideal tidak selalu harus sederhana. Mereka mungkin perlu menonjolkan kebesaran mereka dibandingkan orang lain dan memanfaatkan barang eksternal, termasuk penghargaan, sebagai insentif.Â
Pendekatan ini, yang berakar pada etika kebajikan, memberikan wawasan penting bagi manajer etika yang ingin memimpin dengan teladan, sekaligus mengangkat pertanyaan baru untuk penelitian lebih lanjut tentang apa yang membuat manajemen etika efektif.Â
Teori kontemporer tentang kebajikan moral banyak dipengaruhi oleh filsuf Yunani kuno, Aristoteles (384--322 SM), yang melihat kebajikan sebagai keunggulan yang menghasilkan tindakan yang merupakan "jalan tengah" antara kekurangan dan kelebihan. Menurut Aristoteles, keunggulan ini harus dipelihara agar tetap ada dan bisa hilang jika diabaikan; ia bukanlah sifat tetap atau bawaan.Â