Plato, guru Aristoteles (428/27--348/47 SM), juga membahas sifat kebajikan dalam dialog-dialog yang menampilkan karakter Socrates---perwujudan dari guru Plato dalam kehidupan nyata, meskipun Socrates sendiri tidak meninggalkan tulisan. Namun, analisis Aristoteles tentang kebajikan dalam Etika Nikomakhean telah menjadi pembahasan paling berpengaruh tentang topik ini.Â
Menurut Aristoteles, perkembangan jiwa manusia dimulai dari kebiasaan, yang kemudian menjadi aktif, dan akhirnya mencapai hexis, yaitu keadaan aktif yang memberi jiwa status moral.Â
Jika jiwa tidak memiliki status aktif dan tidak ada aktivitas yang melekat secara permanen, maka tidak akan ada status moral, hanya kebiasaan. Ketika pertama kali membahas kebahagiaan, Aristoteles mempertanyakan apakah masuk akal jika seorang tukang kayu atau pembuat sepatu memiliki pekerjaan, tetapi manusia sendiri tidak memiliki tugas tertentu.Â
Jawabannya adalah bahwa alam telah memberikan manusia tugas, yaitu menggunakan kekuatan akal budi. Tanpa tugas ini, kita tidak akan bahagia. Namun, Aristoteles tidak menyatakan bahwa semua orang harus menjadi filsuf atau bahwa hidup manusia hanya didasarkan pada aktivitas intelektual, melainkan tugas kita adalah mengaktifkan logos (akal).Â
Selain itu, Aristoteles menjelaskan bahwa dorongan irasional sama manusiawinya dengan penalaran. Sebagai manusia, keinginan kita tidak harus acak atau tidak rasional, melainkan dapat dibentuk oleh pemikiran menjadi pilihan yang dipertimbangkan.
 Ciri khas kerja manusia adalah aktivitas rangkap tiga: menetapkan tujuan, memikirkan cara mencapainya, dan memilih tindakan. Tindakan yang bertanggung jawab menggabungkan semua kekuatan jiwa, termasuk persepsi, imajinasi, penalaran, dan keinginan, yang selalu aktif di dalam diri kita.
Pelatihan dari orang tua yang baik tidak menciptakan atau membentuk kekuatan-kekuatan ini, melainkan membebaskannya agar dapat berfungsi secara efektif dalam tindakan. Menurut Aristoteles, meskipun orang tua, masyarakat, dan alam berperan, kita juga adalah co-pencipta keadaan aktif jiwa kita sendiri.Â
Kesimpulan:Â
Aristoteles menganggap keutamaan moral sangat penting dalam kepemimpinan karena ia meyakini bahwa keutamaan ini membantu individu memilih jalan tengah antara dua ekstrem--- baik kelebihan maupun kekurangan. Keutamaan moral, menurutnya, adalah kondisi di mana seseorang bertindak dengan kesadaran dan keseimbangan jiwa.Â
Aristoteles menyebut ini sebagai hexis, yakni sikap mental yang memungkinkan seseorang untuk bertindak dengan stabil dan tidak mudah tergoyahkan oleh keadaan. Kepemimpinan yang baik, bagi Aristoteles, bukan hanya soal tindakan yang bijaksana, tetapi tindakan yang diambil secara moral dengan mempertimbangkan kepentingan bersama dan keadilan. Â
Dalam konteks kepemimpinan, Aristoteles menegaskan bahwa seorang pemimpin harus memiliki integritas moral yang tinggi, selalu mengutamakan kebaikan bersama, dan bertindak dengan mempertimbangkan konsekuensi etis dari setiap keputusan. Keutamaan seperti keadilan sangat penting, karena hanya dengan mempraktikkan keadilan, seorang pemimpin dapat menciptakan masyarakat yang harmonis, di mana setiap orang diperlakukan setara di hadapan hukum.Â