Kebajikan, selain terkait dengan sarana untuk bertindak dan keinginan, juga berfungsi sebagai sarana itu sendiri, karena berada di antara dua sifat buruk yang saling bertentangan. Contohnya, keberanian merupakan kebajikan yang terletak antara kecerobohan di satu sisi dan kepengecutan di sisi lain.
   Menurut Aristoteles, etika dalam kepemimpinan adalah tentang bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang benar dan adil. Seorang pemimpin yang etis adalah mereka yang mempertimbangkan kepentingan rakyatnya dan bertindak untuk kebaikan bersama.
Ajaran Aristoteles menekankan pentingnya moralitas sebagai landasan utama dalam proses pengambilan keputusan, terutama bagi para pemimpin. Menurut Aristoteles, seorang pemimpin yang ideal bukan hanya bijaksana dan cerdas, tetapi juga memiliki integritas moral yang tinggi.Â
Pemimpin semacam ini selalu merenungkan secara mendalam konsekuensi etis dari setiap keputusan yang diambil, memastikan bahwa tindakan mereka selaras dengan prinsip-prinsip moral yang benar. Keberanian untuk memilih tindakan yang benar, meski mungkin sulit atau tidak populer, merupakan tanda dari seorang pemimpin yang bermoral.Â
Salah satu gagasan sentral dalam filsafat Aristoteles adalah keadilan, yang dianggap sebagai fondasi utama bagi pemerintahan yang baik. Bagi Aristoteles, keadilan berarti memberikan kepada setiap individu hak yang sepatutnya, dan memastikan bahwa mereka diperlakukan secara adil di hadapan hukum.Â
Pemerintahan yang adil harus menegakkan hukum yang bersifat universal, di mana semua warga negara memiliki kedudukan yang sama, tanpa diskriminasi, serta hak dan kewajiban yang setara.
 Aristoteles percaya bahwa hanya dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan yang adil dan seimbang, sebuah masyarakat dapat mencapai kesejahteraan bersama dan menjaga harmoni sosial. Aristoteles juga mengajarkan bahwa seorang pemimpin memiliki tanggung jawab moral terhadap rakyatnya. Pemimpin yang baik adalah mereka yang memprioritaskan kepentingan rakyatnya di atas kepentingan pribadi atau golongan tertentu.Â
Aristoteles juga membedakan kebajikan moral dari kebajikan intelektual, seperti kebijaksanaan, yang mengarahkan perilaku etis, serta pemahaman yang muncul dari usaha dan refleksi ilmiah. Menemukan cara rasional untuk menjalankan kebajikan moral sering kali membutuhkan kebijaksanaan.Â
Namun, kebajikan moral tidak hanya berkaitan dengan menemukan dan melakukan tindakan yang benar, tetapi juga dengan mengembangkan karakter yang membuat tindakan tersebut terasa alami.
 Misalnya, mengetahui kapan harus menyumbang memerlukan kebijaksanaan sebagai kebajikan intelektual, tetapi menyumbang dengan kecenderungan alami memerlukan kebajikan moral berupa kemurahan hati. Â
Konsep kebajikan sebagai keunggulan yang dikembangkan sudah ada di budaya Yunani sebelum zaman Aristoteles. Sejak lama, masyarakat Yunani telah mengenali berbagai kebajikan konvensional, seperti kehati-hatian, kesederhanaan, ketabahan, dan keadilan---empat kebajikan "kardinal" yang juga diakui oleh agama Kristen.Â