Agnesh kini tengah terbaling lemah di atas kasurnya, badannya terbungkus dengan selimut berwarna biru laut. Gadis itu tertidur selama 2 jam setelah mandi sore dan mengobati luka-luka dibadannya.
Badan Agnesh demam, dan dia juga menggigil. Entahlah, mungkin efek luka-luka yang ada di tubuhnya.
Ceklek
Kailash membuka pintu kamar Agnesh. Masih lengkap dengan setelan jas kantor yang dikenakan, lelaki itu berjalan ke arah Agnesh berbaring. "Gadis pemalas!" Kailash membuang selimut yang menutupi tubuh Agnesh. Lalu menarik gadis itu hingga tersungkur ke lantai.
"Akhh!" Agnesh memekik pelan saat kepalanya membentur lantai.
"Bangun, rupanya selain bodoh kamu juga pemalas ya!" Kailash menarik lengan Agnesh kasar hingga gadis itu berdiri.
Lengan Agnesh yang baru saja diobati dicengkeram kuat oleh Kailash, membuat rasa sakit kembali menderanya.
"Mana hasil ulangan kamu? Tadi saya bertanya pada gurumu dan katanya hari ini kamu ulangan," Â kata Kailash tanpa melepas cengkeramannya dari tangan Agnesh.
Agnesh menggigit bibir bawahnya menahan sakit sekaligus takut. Jantungnya berpacu dengan sangat cepat, bagaimana nasibnya setelah ini? Mengingat hasil ulangannya yang berada di bawah angka sembilan puluh. Jika harus dipukuli Ayahnya lagi, Agnesh sudah tidak sanggup. Tubuhnya terasa remuk.
"Mana Agnesh?!" Kailash menaikkan intonasi suaranya membuat Agnesh berjingkat kaget.
"A-ada di tas, Y-yah," lirih Agnesh dengan terbata-bata.
Dengan cekatan Kailash langsung mendorong tubuh Agnesh ke lantai, membuat badannya membentur ujung lemari. Gadis itu memekik tertahan, dia meringkuk dilantai. Lebam yang ada dipunggungnya terasa semakin sakit.
Kailash mengeluarkan semua isi tas Agnesh ke lantai membuat selembar kertas yang sudah berlipat-lipat ikut jatuh. Melihat itu, dengan cepat Kailash mengambilnya dan membuka lipatannya.
Mata Kailash menatap tajam kertas itu. giginya bergemelutuk menandakan bahwa dirinya sangat kesal. Dengan penuh amarah, Kailash merobek kertas itu dan menginjak-injaknya tepat dihadapan Agnesh.
"Apa-apaan ini. Dasar gadis bodoh, sudah berapa kali saya katakan. Jangan sampai nilai di bawah angka sembilan puluh. Lalu ini apa?!" Bentak Kailash.
"Maaf Ayah," wajah Agnesh sudah berderai air mata, dirinya sangat takut kali ini. Aura yang terpancar dari Kailash seakan siap membunuhnya kapan saja.
Kailash, Ayahnya adalah sumber ketakutan bagi Agnesh. gadis itu selalu merasa takut, cemas dan gelisah ketika melihat wajah Kailash. Seperti penderita panic disorder ketika melihat sesuatu yang menjadi traumanya.
Kailash membungkuk dan menarik rambut Agnesh dengan sangat kuat. Memaksa gadis itu untuk berdiri dan kembali melemparnya ke sisi meja belajar.
"AKHH AMPUN AYAH!" Agnesh menjerit histeris, kulit kepalanya sekan mau lepas dari tempatnya.
"Anak gak tahu diuntung! Apa susahnya menjadi anak cerdas! Kamu itu bodoh. Memang kamu tidak malu? Kamu hanya menumpang makan dan tidur di rumah saya. Dan saya hanya meminta kamu untuk mendapatkan nilai sembilan puluh saja tidak bisa Agnesh!" bentak Kailash.
"Kamu hanya mengotori marga keluarga saya. Lihatlah Reno, dia cerdas. Jauh di atas kamu!"
Agnesh hanya diam saja meringkuk di bawah meja belajar. Tak ada niatan untuk menjawab. Membiarkan Ayahnya tak henti-henti mencaci maki dirinya.
Melihat itu Kailash semakin geram, ditariknya kembali tubuh anaknya dan didorongnya hingga mengenai tembok. Bunyi tubrukan tulang kepala dengan tembok terdengar sangat jelas. Agnesh memekik keras, kepalanya berdenyut sangat kencang, seperti akan meledak.
Tubuh Agnesh meluruh ke lantai, gadis itu sudah tak sanggup menopang tubuhnya sendiri. Air matanya menetes dengan perlahan mengenai dinginnya lantai keramik di kamarnya.
Kailash berlalu keluar dari kamar Agnesh, membuat gadis itu menghelas napasnya lega. Namun, hal itu tak berselang lama, karena setelah itu Kailash datang dengan membawa sembilah bambu ditangannya.
Splashh
Splashh
Splashh
Bambu itu mendarat dengan mulus pada kaki, lengan dan punggung Agnesh. Bahkan gadis itu tak sempat mengeluarkan erangannya, Ayahnya kembali memukulinya dengan membabi buta.
Splashh
Pukulan terakhir dangat keras Kailash berikan pada bagian lengan Agnesh, membuat darah mengalir dengan deras menembus baju yang gadis itu kenakan.
Tak cukup sampai disana. Kailash menjongkok, mencengkeram dagu Agnesh, menariknya ke atas hingga kepala Agnesh tak lagi menempel pada lantai. Tetesan-tetesan air mata terus mengalir dari bola mata hazel itu.
Samar-samar Agnesh menatap wajah Kailash. Mata Ayahnya menatap dirinya dengan tatapan kebencian. Tuhan, sebelum Engkau memanggilnya, dapatkah Agnesh mendapatkan kasih sayang seorang Ayah walau hanya semenit saja? Agnesh ingin seperti Reno. Dimanja Ayahnya, dipeluk, dicium, dicintai dengan perasaan penuh. Apakah permintaan Agnesh terlalu berlebihan Tuhan?
"Saya berharap kamu cepat mati Agnesh!"
Deg
Agnesh memejamkan matanya, yang dia lakukan kali ini hanya menangis. Memendam isakan yang akan keluar dengan menggigit bibir bawahnya. Ingin membalas perkataan Kailash pun dia tak sanggup. Lidahnya kelu, hatinya seakan tercabik-cabik mendengar kalimat yang Ayahnya katakan secara gamblang. Sehebat itu ternyata efek yang diberikan oleh enam kata yang Kailash ucapkan.
"Saya sangat membenci kamu! Dasar anak pembawa sial!" Kailash menghempaskan dagu Agnesh begitu saja. Membuat kepala Agnesh lagi dan lagi membentur lantai. Setelah mengucapkan itu, Kailash benar-benar keluar dari kamar Agnesh.
BRAK
Bantingan pintu terdengar nyaring membuat telinga Agnesh berdengung. Gadis itu masih terkapar di lantai tak sanggup untuk bangkit. Agnesh menangis dalam diam, tanpa isakan yang keluar.
Agnesh benar-benar terpuruk. Sudah tak ada yang menyayanginya lagi, mengharapkannya untuk tetap berada di bumi. Agnesh lelah, dia membutuhkan dekapan hangat seseorang sekarang. Agnesh butuh Vania, Agnesh butuh Aurel.
Tidak bisakah Kau mengirimkan salah satunya Tuhan?
Jika tidak, tolong hantarkan saja Agnesh kepada Aurel. Dia ingin hidup bersama dengan sahabatnya itu, Agnesh mohon Tuhan.
Agnesh sudah tidak sanggup jika harus seperti ini terus-menerus. Agnesh hanyalah manusia biasa, dia bisa lelah, dia bisa merasakan sakit, hatinya pun tak sanggup jika harus mendengar caci makian setiap hari. Agnesh tak bisa jika harus dituntut sempurna.
Agnesh ingin menyerah, tapi dunia seakan belum puas melihat penderitaannya. Siapapun tolong Agnesh sekarang juga. Dia sudah tidak sanggup.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI