Mohon tunggu...
Indani Ainun Fajriah
Indani Ainun Fajriah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Jadilah pribadi yang bermanfaat, kapan pun dan dimana pun kita berada.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Kisah di atas Bentala - Grade that Goes Down

25 Januari 2025   09:00 Diperbarui: 24 Januari 2025   08:19 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

TET TET TET

Bel jam pelajaran ke tujuh berbunyi. Agnesh dan Aakash pun telah kembali ke kelas. Kini, semua murid XII MIPA 1 berhamburan memasuki kelas. Tak lama kemudian, Bu Gladys masuk dengan buku fisika di tangannya.

"Anak-anak, mengingat pekan depan kalian akan menghadapi ujian semester 1, untuk memenuhi nilai hari ini, Ibu mau mengadakan ulangan, bab fisika inti dan radioaktivitas. Silahkan bukunya kalian masukkan, dan kumpulkan tas ke depan," ujar Bu Gladys yang tengah berdiri di depan para murid kelas XII MIPA 1.

Para siswa yang mendengar penuturan Bu Gladys selaku guru fisika itu mendengus sebal.

"Kok dadakan sih Bu? Ibu kira otak kita ini setara sama otaknya Albert Einstein?" protes Doni, salah satu siswa di kelas.

"Iya, kok dadakan sih Bu?" timpal Herry

Bu Gladys menggeleng-gelengkan kepala heran akan perilaku murid-muridnya itu. "Kalian  pastinya sudah belajar tadi malam kan? Pasti masih belum lupa sama isi materinya," jawab Bu Gladys.

Herry menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Nah itu Bu, itu. saya ini tipikal anak yang belajar kalau pas mau ulangan aja. Jadi, kalau ulangannya dadakan kaya gini mana mungkin lah saya ini belajar," lirihnya yang mendapatkan sorakan dari teman sekelasnya.

"Ck. Herry-Herry, itu mah emang lo-nya aja yang keterlaluan!" sinis Vella.

"Sudah-sudah, sekarang kalian siapkan kertas folio, pena dan penggaris. Sisanya silahkan masukkan ke dalam tas dan letakkan tasnya di depan. Ibu diktekan soalnya," Bu Gladys mulai membuka buku tebal yang disampingnya terdapat tulis FISIKA.

Setelah tas terkumpul di depan semua, Bu Gladys mulai mendiktekan soalnya. Sunyi, semua siswa di kelas itu tampak tenang dengan soal yang sudah ditulisnya masing-masing.

Agnesh memperhatikan tulisannya di atas kertas folio itu, tidak seperti biasanya. Tulisannya kali ini sedikit berantakan karena tangannya yang masih terasa sakit. Aakash memperhatikan Agnesh yang sangat terlihat kesusahan saat menggerakannya penanya. Rasanya dia ingin pindah tempat duduk ke samping gadis itu.

Ya, Agnesh duduk sendiri. Karena tak ada yang mau duduk dengannya kecuali Aurel. Tetapi kali ini sudah tidak akan ada lagi yang duduk di sebelahnya.

Dua puluh menit berlalu, Agnesh telah menjawab 4 soal dari 10 soal yang diberikan Bu Gladys. Rumus sudah Agnesh hafal di luar kepala, hanya tinggal memasukkan angka-angka yang tersedia dan semoga saja dirinya tidak salah dalam menghitung.

Agnesh berdecak sebal saat ada angka yang salah dia tulis. Dia segera mengobrak-abrik isi kotak pensilnya mencari tip-x. "Rel, kamu liat tip-x ku nggak?"

Agnesh menoleh ke sampingnya yang merupakan tempat duduk Aurel. Bahu Agnesh melemah, dia lupa bahwa Aurel sudah tidak ada.

Vella yang kebetulan duduk di belakang Agnesh, mengulurkan tip-x miliknya. "Ini Nesh, pake punya gue aja kalo punya lo belum ketemu," ujarnya.

Agnesh menoleh, dia menatap Vella dan teman-temannya yang kini memandangnya secara intens. Mereka semua menatapnya dengan pandangan iba, tak ada yang melanjutkan mengerjakan soal ulangan. Keadaan kelas jadi suram.

Agnesh menunduk menyembunyikan wajahnya yang penuh lebam dibalik geraian rambutnya. "Nggak usah Vel, lagian cuma salah dikit kok," jawab Agnesh.

Agnesh kembali memegang penanya, badan gadis itu nampak bergetar. Tak ada yang bisa membaca raut wajah Agnesh karena dia menunduk. Tapi dapat dipastikan bahwa gadis itu sedang menangis.

Tak ingin menjadi puasat perhatian, Agnesh buru-buru menghapus air matanya dan mulai kembali mengerjakan soal-soal ulangan tadi.

"Agnesh, kamu tidak apa-apa kan Nak?" sebuah tangan menyentuh bahu Agnesh.

Agnesh menggeleng, masih dengan kepala yang menunduk. "Agnesh nggak apa-apa kok Bu," sahutnya dengan suara yang melemah.

"Agnesh harus bisa ikhlasin Aurel ya, Nak. Biarkan Aurel bahagia di sana. Kalau Agnesh terus-terusan seperti ini, pasti Aurel juga sedih. Agnesh jangan nunduk terus atuh Nak, temen-temenmu juga ingin melihat wajah cantik Agnesh. bahkan sedari tadi Ibu belum melihat wajah Agnesh," ujar Bu Gladys mencoba menghibur Agnesh.

Agnesh hanya diam, dengan kepala yang terus tertunduk. Cantik? Yang ada orang-orang akan malas dan jijik melihat wajahnya yang penuh dengan lebam ini.

Bu Gladys menghelas napas. "Yauda lanjutkan ya. Kalau sudah selesai boleh dikumpulkan," setelah mengatakan itu, Bu Gladys menepuk bahu Agnesh memberikan semangat lalu kembali ke tempat duduknya.

Agnesh menghapus air matanya dengan kasar. Kertasnya pun ikut basah karena air matanya. Gadis itu meniup-niup kertasnya yang basah, lalu kembali mengerjakan sisa-sisa soal yang belum selesai.

Lima belas menit kemudian, semua siswa mulai mengumpulkan lembar jawabannya. "Baiklah, karena bel sudah berbunyi silahkan kalian boleh beristirahat. Tetapi saat bel pulang sekolah berbunyi nanti jangan buru-buru pulang ya, Ibu mau bagiin hasil ulangan kalian ini. Sekarang Ibu mau mengoreksinya dulu," kata Bu Gladys, wanita paruh baya itu sudah bersiap-siap meninggalkan kelas.

"Baik Bu." Setelahnya Bu Gladys berlalu keluar kelas, diikuti oleh murid-murid lain menuju kantin.

Agnesh hanya berdiam diri, dia ingin pergi ke kantin juga tapi uang sakunya hanya tersisa untuk membayar angkot nanti. Sejujurnya uang Agnesh masih utuh lima belas ribu, tetapi tadi dia gunakan uangnya untuk membayar kas sepuluh ribu, karena dia sudah tidak membayar kas selama dua minggu.

Agnesh menopang dagunya di atas meja, menatap papan tulis yang kosong. Tiba-tiba ada sebuah minuman dingin yang menyentuh pipinya, membuat Agnesh refleks menoleh dan menemui Aakash yang menempelkan nutriboost dengan senyuman dibibirnya.

Melihat ekspresi Agnesh, Aakash tertawa cekikikan lalu duduk disamping Agnesh. "Buat lo, dan gak bole ditolak," ujar Aakash seraya membuka tutup botol minumnya sendiri.

"Tapi-"

Belum sempat Agnesh menjawab, Aakash terlebih dahulu menatapnya. "Minum aja," suruhnya.

Agnesh mengangguk, mengucapkan terima kasih dan mulai membuka tutup botol minuman yang diberikan Aakash. Lelaki itu tersenyum melihat Agnesh yang mulai meminum minuman yang dibelikannya.

****

Bel pulang sekolah berbunyi, tetapi murid kelas XII MIPA 2 belum ada yang meninggalkan kelas, mereka sedang menunggu Bu Gladys membagikan hasil ulangan tadi.

"Selamat sore anak-anak, maaf agak lama," Bu Gladys memasuki kelas dengan tumpukan kertas ditangannya.

"Selamat sore, Bu."

"Ya sudah langsung saja ya, Ibu tahu kalian keburu mau pulang." Kata Bu Gladys.

Satu persatu Bu Gladys memanggil nama-nama dan membagikan hasil ulangannya. Agnesh menunggu dengan jantung berdebar. Dia takut nilai ulangannya berada dibawah angka sembilan puluh dan berakhir mendapat siksaan dari Ayahnya lagi.

"Dan yang terakhir Agnesh Queenza Feshika Lamont. Ini Agnesh kertas jawaban kamu," Bu Gladys menyerahkan kertas itu kepada Agnesh

Agnesh menerimanya dengan tangan gemetar, dia membalikkan kertas jawabannya untuk melihat nilai ulangannya.

Deg

Jantung Agnesh seakan berhenti berdetak. Agnesh menggigit bibir bawahnya, wajah dan tangannya telah dipenuhi oleh keringat dingin. Bolehkah Agnesh menangis saja kali ini? Dia sudah tidak kuat jika harus dipukuli Kailash lagi.

"Seperti biasa, nilai tertinggi diraih oleh Agnesh dan Aakash. Kalian bisa menanyakan materi yang kurang paham pada mereka," kata Bu Gladys.

"Ya sudah, Ibu langsung pamit saja ya," imbuhnya.

Agnesh yang melihat Bu Gladys akan melangkah keluar ruangan segera menghentikannya. Gadis itu berdiri di depan Bu Gladys. "Bu apa saya boleh mengulang ulangannya sekali lagi?" tanyanya dengan suara lirih.

Bu Gladys yang melihat itu tersenyum lembut. "Agnesh, nilaimu ini sudah nilai yang tertinggi sama dengan nilai Aakash. Kalau pun mau melakukan ulangan ulang, itu harus persetujuan bersama. Jika teman-temanmu setuju, kita bisa melakukannya lagi. Ibu pamit ya," sahut Bu Gladys lalu berlalu keluar kelas.

Agnesh terdiam, nilai delapan puluh lima memang nilai yang besar. Tetapi jika tidak mencapai angka sembilan puluh maka Kailash akan marah dan berakhir memukulinya lagi.

Tuhan, bolehkah kali ini Agnesh menyerah saja?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun