Mohon tunggu...
Indani Ainun Fajriah
Indani Ainun Fajriah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Jadilah pribadi yang bermanfaat, kapan pun dan dimana pun kita berada.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Kisah di Atas Bentala - Kesedihan yang Menguar

8 Oktober 2024   09:52 Diperbarui: 8 Oktober 2024   10:00 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Selama perjalanan menuju sekolah, Agnesh hanya menatap dua lembar uang yang diberikan Ayahnya dengan tatapan yang tidak dapat di definisikan. Hingga, notifikasi yang berasal dari handphone-nya mengalihkan atensinya dari uang itu.

Morland Bayu

Agnesh, lo ke rumahnya Aurel sekarang bisa kan?

Agnesh  Feshika

Ada apa Morland? Kan sekarang waktunya sekolah, Aurel pun pasti bakal ke sekolah kan.

Morland Bayu

Aurel meninggal, Agnesh. Dia nembak kepalanya sendiri.

Send a video

Gue lagi di kediaman Aurel.

PRANG

Handphone yang Agnesh pegang, terlepas dari genggamannya. Nyawanya seakan ditarik seketika saat membaca pesan terakhir Morland, disertai video keadaan rumah Aurel yang dipenuhi orang-orang menggunakan pakaian hitam. Aurel, sahabat satu-satunya telah tiada, dia bunuh diri.

Dunia Agnesh seakan hancur saat itu juga, Aurel adalah satu-satunya orang yang peduli dengannya kini telah pergi. Pergi meninggalkan dirinya sendiri di dunia yang kejam ini.

"Enggakk, Aurel... enggakk mungkin, enggakk!" Agnesh menggeleng tak percaya. Air mata kembali jatuh dari pelupuk matanya. Tuhan, ini hanya mimpikan?

Penumpang yang melihat Agnesh menangis segera menolehkan kepalanya, mulai memperhatikan gadis malang yang sedang dilanda kesedihan mendalam. Seorang Ibu-Ibu yang berada di dekat Agnesh, mendekap gadis itu dengan erat disertai elusan teratur di punggungnya.

Agnesh hanya terus menangis, tak mempedulikan tatapan sekitar yang menatapnya aneh. "Aurel...Aurel hiks..."

Ibu itu pun melepaskan dekapannya, menegakkan badan Agnesh lalu mengusap air mata gadis itu dengan lembut. "Ibu ndak tahu apa yang terjadi padamu, nduk. Tapi pesan Ibu, tetap semangat ya, dunia ini memang kejam tapi percaya lah Tuhan sudah mengatur segalanya. Dia ndak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hamba--Nya." Ujarnya disertai senyuman tulus.

Agnesh yang mendengar itu hanya terdiam. Angkot yang ditumpanginya pun berhenti, membuat Agnesh buru-buru menghapus air matanya dan memberikan uang lima ribu kepada Mang Rudy.

Setelah Agnesh turun, angkot kembali melaju dan Agnesh berjalan menuju tempat pangkalan ojek yang tak jauh dari tempat dia turun.

"Bang, bisa antar saya ke perumahan cempaka tiga?" tanya Agnesh kepada salah satu Abang ojek disana.

"Bisa Neng, tapi sepuluh ribu ya, soalnya perumahan itu lumayan jauh dari sini," jawab tukang ojek itu.

Agnesh menghela nafasnya pelan. Uang sakunya memang hanya tersisa sepuluh ribu, tapi jika dia gunakan uang itu untuk naik ojek, dia tak akan bisa membeli roti untuk mengganjal perutnya yang kosong. Tapi mau bagaimana lagi, Aurel lebih penting dari kesehatannya.

Agnesh menganggukkan kepalanya seraya berkata. "Iya Bang, gapapa," sebelum berangkat, Agnesh memakai helm yang telah diberikan oleh tukang ojek walau sedikit kebesaran.

Semilir angin pagi hari menyapu wajah Agnesh, gadis itu memejamkan matanya guna menghalau air mata yang hendak jatuh. Tapi percuma, air mata itu tetap memberontak untuk membasahi pipi Agnesh.

Agnesh tak tahu, apakah dirinya bisa kuat melihat tubuh Aurel yang telah terbungkus kain kafan? Membayangkannya saja membuat Agnesh terisak, sungguh menyesakkan rasanya.

Selama ini Agnesh tahu bagaimana terpuruknya Aurel karena memiliki keluarga yang sudah tak utuh lagi. Mereka selalu berbagi keluh kesah, tetapi Aurel tak pernah menangis di depannya. Aurel adalah gadis yang kuat.

Sebelumnya Agnesh tak pernah menangkap Aurel menangis. Tetapi kemarin Aurel menangis hingga tersedu-sedu di depannya. Aurel menceritakan semua kesedihannya, menceritakan bagaimana tersiksanya dia selama ini. Perlakuan kasar yang selalu diterima dari Ayahnya, pelecehan yang selalu kakaknya berikan membuat Aurel tak tahan. Siapa sangka ternyata kemarin itu adalah tangisan terakhir dari sahabatnya yang dapat Agnesh lihat.

Mengingat luka-luka lebam yang sempat Kailash berikan padanya, membuat Agnesh berpikir. Bagaimana kondisinya nanti saat dia pulang ke rumah? Apakah Ayahnya akan menamparnya lagi? Menguncinya di kamar mandi semalam penuh? Atau siksaan apalagi? Terlebih saat ini perbuatan yang dilakukannya cukup fatal, yaitu membolos sekolah untuk pergi ke rumah Aurel.

"Sudah sampai Neng,"

Lamunan Agnesh buyar, dia segera turun dari motor dan melepas helm milik tukang ojek tersebut. Gadis itu merogoh saku rok seragamnya, mengambil uang sepuluh ribuan yang tersisa.

"Ini ya Bang, uangnya," Agnesh memberikan uang itu pada tukang ojek.

Tukang ojek itu tersenyum seraya mengangguk lalu pergi dari hadapan Agnesh.

Agnesh berjalan dengan mata sembabnya menuju kediaman Aurel, matanya kembali memanas saat melihat bendera kuning terpampang jelas di halaman rumah sahabatnya terlebih banyak sekali orang seliweran di rumah itu.

Langkah kakinya semakin memelan saat melihat empat orang Bapak-Bapak sedang menggotong keranda dibahunya masing-masing untuk diletakkan di depan rumah Aurel. Rasanya jantung Agnesh ditarik paksa. Air mata semakin mengalir deras dipipinya, entah sudah berapa banyak air mata yang Agnesh tumpahkan hari ini.

"Aurel," gumam Agnesh, disusul langkah kakinya yang semakin cepat menuju ke dalam rumah sahabatnya.

Sesampainya di depan pintu, Agnesh jatuh terduduk. "AUREL!!!". Teriaknya.

Disana ada tubuh Aurel yang akan segera dibalut kain kafan. Mata belo itu terpejam dengan damai, tak ada lagi tatapan tersakiti dimata itu. Hidungnya sudah ditutup dengan kapas dan wajahnya yang sebelumnya berwarna kuning langsat sekarang telah berganti menjadi putih pucat.

Agnesh berusaha bangkit hendak menghampiri tubuh sahabatnya itu. Tetapi baru saja badannya berdiri, kepalanya berdenyut nyeri, pandangannya mulai mengabur, sebelum tubuhnya limbung, sudah ada sepasang tangan yang merengkuhnya. "Ada Tante sayang, Agnesh masih mempunyai Tante disini,"

Suara itu adalah suara Rosa, perempuan yang selama ini selalu menganggap dirinya sama seperti Aurel. Suaranya terdengar parau. Agnesh tahu, Rosa sama terpukulnya dengan dirinya, bahkan bisa dibilang lebih parah karena beliau adalah Ibu Aurel, wanita mulia yang telah melahirkan dam merawat gadis itu.

Perasaan bersalah kembali mengisi relung hati Agnesh, karena seharusnya dialah yang menguatkan Rosa, bukan malah sebaliknya.

"Aurel Tante... Aurel..." suara Agnesh sangat lirih, air mata tak berhenti mengalir dari matanya yang indah.

Mendengar suara Agnesh, Rosa semakin menguatkan pelukannya. Sedari tadi, dia selalu mencoba menguatkan dirinya untuk tak mengeluarkan air mata agar putrinya disana tak lagi terbebani, tetapi melihat seseorang yang sudah dia anggap anak membuat air matanya mengalir.

"Agnesh masih punya Tante, sayang. Agnesh nggak sendiri," kata Rosa dengan pelukan yang semakin erat.

Agnesh menangis tak sanggup untuk mengeluarkan kata-kata lagi. Dirinya sangat terpukul, benar-benar terpukul. Bagi Agnesh, Aurel sudah ia anggap seperti saudara kandungnya. Mereka memiliki ikatan batin, meski terlahir dari rahim yang berbeda. Enam tahun bukanlah waktu yang sebentar, suka duka telah dia lewati bersama dengan Aurel.

Kebahagiaan yang Agnesh terima juga karena Aurel. Gadis itulah yang selalu mengubah pandangan seorang Agnesh terhadap dunia yang kejam ini. Sampai dia lupa bahwa Aurel juga membutuhkan semangat dan dukungan dari dirinya.

Andaikan waktu bisa kembali diputar, dia akan berusaha untuk membuat Aurel dapat merasakan kebahagiaan seperti dirinya yaitu selalu berusaha membuat Agnesh bahagia. Tuhan, bisakah Engkau kembali memutar waktu? Agnesh akan mengucapkan terima kasih dan meminta maaf dengan sangat kepada Aurel.

"Agnesh, bagi tugas fisika lo dong,"

"Agnesh, bagi cemilan lo, boleh?"

"Agnesh, kalau nanti gue pergi lebih dulu, lo harus janji sama gue buat tetap bertahan meski lo nggak dapet dukungan dari Ayah atau Bunda. Ingat, Ibu gue selalu nungguin lo pulang."

Kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh Aurel kembali terngiang-ngiang dalam telinganya. Seolah kaset rusak yang berputar tanpa arah. Ucapan Aurel benar-benar menamparnya, hingga Agnesh sadar jika hidupnya sangat berarti, Agnesh sadar jika dirinya kuat.

Tapi, tidakkah Aurel berpikir, bahwa Agnesh juga membutuhkan sosoknya untuk menghadapi dunia ini? Kenapa dia memilih pergi meningggalkan Agnesh sendiri?

Bersambung...

Stay tuned yaaa!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun