Penumpang yang melihat Agnesh menangis segera menolehkan kepalanya, mulai memperhatikan gadis malang yang sedang dilanda kesedihan mendalam. Seorang Ibu-Ibu yang berada di dekat Agnesh, mendekap gadis itu dengan erat disertai elusan teratur di punggungnya.
Agnesh hanya terus menangis, tak mempedulikan tatapan sekitar yang menatapnya aneh. "Aurel...Aurel hiks..."
Ibu itu pun melepaskan dekapannya, menegakkan badan Agnesh lalu mengusap air mata gadis itu dengan lembut. "Ibu ndak tahu apa yang terjadi padamu, nduk. Tapi pesan Ibu, tetap semangat ya, dunia ini memang kejam tapi percaya lah Tuhan sudah mengatur segalanya. Dia ndak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hamba--Nya." Ujarnya disertai senyuman tulus.
Agnesh yang mendengar itu hanya terdiam. Angkot yang ditumpanginya pun berhenti, membuat Agnesh buru-buru menghapus air matanya dan memberikan uang lima ribu kepada Mang Rudy.
Setelah Agnesh turun, angkot kembali melaju dan Agnesh berjalan menuju tempat pangkalan ojek yang tak jauh dari tempat dia turun.
"Bang, bisa antar saya ke perumahan cempaka tiga?" tanya Agnesh kepada salah satu Abang ojek disana.
"Bisa Neng, tapi sepuluh ribu ya, soalnya perumahan itu lumayan jauh dari sini," jawab tukang ojek itu.
Agnesh menghela nafasnya pelan. Uang sakunya memang hanya tersisa sepuluh ribu, tapi jika dia gunakan uang itu untuk naik ojek, dia tak akan bisa membeli roti untuk mengganjal perutnya yang kosong. Tapi mau bagaimana lagi, Aurel lebih penting dari kesehatannya.
Agnesh menganggukkan kepalanya seraya berkata. "Iya Bang, gapapa," sebelum berangkat, Agnesh memakai helm yang telah diberikan oleh tukang ojek walau sedikit kebesaran.
Semilir angin pagi hari menyapu wajah Agnesh, gadis itu memejamkan matanya guna menghalau air mata yang hendak jatuh. Tapi percuma, air mata itu tetap memberontak untuk membasahi pipi Agnesh.
Agnesh tak tahu, apakah dirinya bisa kuat melihat tubuh Aurel yang telah terbungkus kain kafan? Membayangkannya saja membuat Agnesh terisak, sungguh menyesakkan rasanya.