Agnesh menghentikan langkahnya, senyum yang sedari tadi terpatri indah kini mulai luntur secara perlahan. Vania yang melihat itu meletakkan sendok dan garpu yang ada ditangannya, tatapannya mengarah ke arah Kailash. "Ayah apaan sih, Agnesh kan mau sarapan," sanggah Vania dengan mata yang sesekali melirik ke arah Agnesh.
Kailash menatap istrinya tajam. "Tidak perlu, dengan sarapan pun tidak akan membuat anak itu pintar. Dia tetap tidak bisa menjadi seperti Reno, dia hanya gadis bodoh bahkan setelah aku menyekolahkannya di sekolah yang elit,"
Mata Agnesh berkaca-kaca mendengar penuturan Kailash, tidak kah Ayahnya itu menghargai usahanya selama ini? Dia telah berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan nilai yang tinggi, agar tak lagi dibandingkan dengan Kakaknya --Reno-
"AYAH!!" secara tidak sengaja Vania menggunakan nada tinggi menegur suaminya. Walaupun setiap hari dia telah terbiasa mendengar suaminya meremehkan Agnesh, tapi tetap saja, kata- kata yang suaminya lontarkan selalu berhasil membuat emosinya meningkat.
Kailash tak menghiraukan teriakan istrinya, dia berjalan mendekat ke arah Agnesh, menarik tangan gadis itu ke halaman rumah. Agnesh pun mengikuti langkah kaki Ayahnya sampai berhenti di depan pintu utama. Air mata yang sedari tadi dia tahan perlahan meluruh, selain fisik yang Ayahnya lukai, batinnya pun berhasil Ayahnya cabik-cabik.
"Ini uang sakumu," ujar Kailash seraya menyerahkan uang lima belas ribu kepada Agnesh.
Agnesh menerima uang itu, lalu menjulurkan tangannya untuk menyalimi Ayahnya. Namun, uluran tangan itu tak kunjung mendapat balasan. Agnesh menurukan kembali tangannya, dihapusnya air matanya dengan kasar. Dia sudah terbiasa seperti ini.
Senyuman manis kembali terbit dari bibir gadis itu, matanya yang sembab dengan wajahnya yang memerah membuat siapa pun yang melihatnya iba. "Agnesh berangkat ya Ayah, doa Agnesh tetap sama, semoga Ayah bisa sayang sama Agnesh seperti dulu lagi," setelah mengucapkan itu, Agnesh berlalu pergi dari hadapan Kailash menuju ke depan gerbang rumah guna menunggu angkot yang biasa mengantar-jemputnya setiap hari.
Vania yang menatap kepergian anaknya dari kejauhan, berusaha menahan isak tangisnya. Dia tahu anak gadisnya itu selalu terluka, bahkan selalu kelaparan setiap harinya. Dengan uang saku yang hanya lima belas ribu, sedangkan ongkos angkot setiap harinya sepuluh ribu membuat Agnesh benar-benar harus menghemat.
"Agnesh, maafkan Bunda yang belum bisa mengubah sikap Ayahmu Nak."
Bersambung...