Agnesh Bangkit dari tidurnya, menatap Vania kemudian berlalu menuju kamar mandi dengan langkah yang sempoyongan. Melihat itu Vania tersenyum, senyum yang menggambarkan berbagai macam perasaan.
*****
Membutuhkan waktu hampir 30 menit untuk Agnesh bersiap-siap. Akibat luka-luka yang tercetak jelas disekujur tubuhnya, membuat Agnesh harus ekstra pelan-pelan menyabuni badannya, karena hal itulah acara mandinya berlangsung lama.
Agnesh memperhatikan dirinya di depan cermin, tak ada yang menarik dari dirinya. Tubuh yang kurus dengan kulit yang berwarna putih pucat, serta luka-luka sayatan yang menghiasi tangannya dan lebam yang kian hari kian menambah pada wajahnya adalah gambaran dari sosok Agnesh.
Tak ada hari tanpa siksaan, Kailash akan selalu memberikan lukisan indah pada badannya. Entah sayatan cutter yang memanjang, lebam kebiruan karena tamparan, ataupun bekas cambukan gesper pada punggungnya.
Semua sudah terbiasa bagi Agnesh, itu adalah makanan sehari-harinya. Namun, setelah sekian lama Agnesh mendapatkan perlakuan yang sama, kenapa rasa sesak selalu mendatanginya? Kenapa dia masih selalu mengharapkan rengkuhan hangat seorang Ayah bahkan dia sendiri telah mengetahui bahwa itu hanyalah angan-angan semata.
"AGNESH CEPET TURUN, SUDAH HAMPIR JAM 7!!"
Teriakan menggelegar dari lantai bawah itu membuat Agnesh terlonjak kaget, segera dia menyambar tasnya dan berlalu keluar kamar sebelum Ayahnya kembali memberikan luka baru.
Sesampainya di lantai bawah, Agnesh segera menuju ke meja makan, di mana disana telah duduk Ayah dan Bundanya sedang sarapan. "Agnesh, sini nak, sarapan dulu," panggil Vania dengan senyuman hangat diwajahnya.
Agnesh tersenyum bahagia, sepertinya hari ini kebahagiaan sedang berpihak padanya. Kaki jenjangnya mulai melangkah mendekati meja makan, dengan senyuman yang terus mengembang. Namun, langkahnya terhenti, saat mendengar seruan Sang Ayah.
"Berhenti disitu, saya tidak sudi sarapan dengan anak bodoh," Â ujar Kailash dengan tatapan tajam yang mengarah pada Agnesh.