Waktu terus berjalan, Zara semakin dewasa namun sikapnya terhadap Nenek Maria tidak berubah. Ketika Zara memutuskan untuk pergi bekerja di kota, ia meninggalkan Nenek Maria sebatang kara di rumah. Nenek Maria sering menangis saat menelepon Zara, namun Zara selalu mengabaikannya dan tidak mengangkat teleponnya.
Beberapa tahun kemudian, Nenek Maria jatuh sakit parah. Tetangga mereka yang baik hati mencoba menghubungi Zara untuk memberitahunya, namun tidak ada jawaban dari Zara. Setelah berjuang melawan penyakitnya, akhirnya Nenek Maria meninggal dunia, sendiri di rumah mereka yang sunyi.
Suatu hari, Zara kembali ke desa halaman setelah sekian lama. Ia memiliki niat untuk mengambil surat tanah rumah mereka karena ingin menggunakan rumah itu sebagai modal untuk membuka usaha di kota.
Zara berdiri di depan rumah yang sunyi, hatinya terasa hampa. Suara desir angin dan gemuruh daun-daun di halaman menjadi saksi bisu atas kepergian ibunya, yang telah berlalu dua bulan yang lalu. Ia mengetuk pintu dengan keras, berharap mendengar suara ibunya memanggil namanya seperti dulu
"Ibu, buka pintunya!" teriak Zara sambil menggedor pintu dengan keras, namun tidak ada jawaban. ,zara terus menggedor pintu rumahnya dengan keras dan berteriak mengambil ibunya.
"Tidak ada yang menjawab, Zara," kata tetangga dengan suara lembut," meninggal dunia dua bulan yang lalu."
Mendengar kata-kata itu, Zara terdiam. Air matanya berlinang membasahi pipi. Ia merasa seolah dunianya runtuh. Semua kenangan bersama ibunya mengalir deras dalam ingatannya. Zara teringat bagaimana ibunya selalu berusaha menyenangkan hatinya meskipun ia sering kali kurang berterima kasih. Ibu yang selalu dengan sabar memasak meski mungkin hanya seadanya, yang rela meminjam uang untuk membelikan Zara apa yang ia inginkan.
Zara memutuskan untuk ke makam ibunya dia sana zara menangis sejadi-jadinya dan meminta maaf, sepulangnya dari makam ibunya, Zara merasakan kesedihan yang begitu mendalam.kembali ke rumah dan Ia menguburkan wajahnya di bantal favorit ibunya dulu , mencoba menenangkan diri,sambil terus menangis,"Maafkan Zara, Bu," bisik Zara dalam tangisnya saat ia memeluk bantal ibunya ibunya. "Zara belum sempat bersujud di kaki iBu, Zara kangen Bu. Zara rindu akan masakan iBu, zara rindu suara iBu."
Namun, penyesalan tetap menghantuinya. Hanya jika ia bisa kembali waktu, jika ia bisa menyadari betapa berharga setiap momen bersama ibunya. Namun kini, semua itu hanya tinggal kenangan.
Setiap hari berlalu, Zara mencoba melanjutkan hidupnya. Ia membawa dalam hati sebuah kekosongan yang sulit diisi. Foto ibunya tetap menghiasi dinding rumah, menjadi saksi bisu atas kehadiran yang tak akan kembali. Zara menemukan bahwa meski ia memiliki keberhasilan di kota, meski ia bisa membuka usaha, namun itu tak mampu menggantikan kehilangan yang dirasakannya.
Dalam kesendirian, Zara menemukan titik terang dari pelajaran hidup yang berat ini. Ia belajar untuk lebih menghargai waktu bersama orang yang dicintainya, sebelum terlambat. Dan setiap hari, ia membawa penyesalan yang dalam, sebagai pengingat akan seorang ibu yang begitu mencintainya meski sering kali tidak terungkapkan dengan kata-kata.