Di sebuah desa kecil yang dikelilingi perbukitan hijau, tinggalah seorang ibu tua bernama Nenek Maria bersama anak perempuannya yang bernama Zara. Nenek Maria adalah seorang buruh cuci yang bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka berdua. Meskipun penghasilannya hanya cukup untuk membeli beras, Nenek Maria selalu berusaha yang terbaik untuk Zara.
Zara, meskipun sudah dewasa, sering kali bersikap kasar dan tidak sabar terhadap ibunya. Ia selalu menuntut uang dari Nenek Maria untuk memenuhi keinginannya tanpa mempertimbangkan keterbatasan ibunya. Meski begitu, Nenek Maria tetap sabar dan rela meminjam uang dari tetangga kaya mereka, Bu Rini, untuk membelikan apa yang diminta Zara.
Suatu hari Zara keluar dari rumah dengan wajah murung, diikuti oleh Mia dan Rani, dua temannya yang menunggunya di ujung jalan.
"Apa yang terjadi, Zara? Kok kelihatan murung sekali?" tanya Mia, mencoba mencari tahu penyebab perubahan suasana hati Zara.
Zara menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab, "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin berjalan-jalan sebentar."
Rani melirik Mia dengan tatapan yang bertanya-tanya, lalu berkata, "Baiklah, tapi jelas ada yang mengganggumu. Ceritakan pada kami, Zara."
Zara menundukkan kepala sejenak sebelum akhirnya mengungkapkan perasaannya, "Kamu tahu, Mia, Rani... Mereka selalu mengolok-olokku karena ibuku hanya seorang buruh cuci. Mereka meremehkan aku karena itu."
Mia dan Rani saling pandang sebelum Mia berkata dengan nada sinis, "Memangnya kita harus menghormati anak buruh cuci? Kamu tahu kan kalau hidupmu bisa lebih baik kalau kamu memaksa ibumu memberimu lebih banyak uang."
Rani menimpali, "Iya, Zara. Kamu harus terus meminta uang dari ibumu. Siapa tahu bisa mengubah nasib kita."
Zara merasa semakin tersinggung dengan kata-kata mereka, namun dia merasa terjebak di antara keinginan untuk menunjukkan bahwa dia berharga dan rasa malunya karena keadaan keluarganya. "Benar juga sih apa yang kalian bilang,ibu ku itu selalu saja tidak mampu membelikan apa yang aku mau.
Mia tertawa sinis, "Oh, Zara. Kamu bisa melakukan lebih baik dari ini, tapi kamu terjebak di sini dengan ibumu yang hanya bisa menyediakan beras untuk makanan."
Rani menimpali, "Benar sekali. Kamu harus memaksa ibumu memberimu lebih banyak uang. Kita tidak bisa berdiam diri seperti ini."
Zara merasa semakin terjepit di antara tekanan teman-temannya dan rasa malu atas keadaan keluarganya. Dia berharap bisa menemukan jalan keluar dari situasi yang membingungkan ini, tetapi dia tidak tahu harus mulai dari mana.
Setelah percakapan yang memilukan itu, Zara akhirnya pulang dengan langkah berat. Ia memasuki rumah dengan perasaan campur aduk, tidak yakin lagi apa yang seharusnya dia lakukan. Nenek Maria yang duduk di sudut ruangan segera melihat ekspresi Zara.
"Zara, apa yang terjadi, Nak?" tanya Nenek Maria dengan suara lembut, mengkhawatirkan keadaan Zara.
"Aku lelah dengan semuanya, Bu!" teriak Zara, menangis dengan marahnya. "Aku lelah dengan semua omongan mereka tentang kita!"
Nenek Maria mendekati Zara dengan hati-hati, mencoba untuk merangkulnya. "Maafkan ibu jika ada yang membuatmu kesal, Nak. Ibuku hanya ingin yang terbaik untukmu."
Zara menoleh dari Nenek Maria, masih dalam keadaan terpukul. "Aku ingin semuanya berubah, Bu! Aku ingin hidup kita lebih baik, aku ingin kita punya banyak uang!"
Nenek Maria merasa sedih melihat Zara dalam keadaan seperti ini. Dia merangkul Zara dengan penuh kasih sayang. "Kita akan melewatinya bersama, Nak. Kita akan membuatnya lebih baik."
Zara merasa semakin kesal dan dia mendorong ibunya dengan keras dan membuatnya jatuh ke lantai "sudah lah bu,kalau cuma modal bersyukur juga tidak akan merubah nasib kita",Teriaknya sambil berjalan menuju kamarnya,dan meninggalkan nenek maria yang masih duduk di lantai,nenek maria merasa sakat sedih ,tapi dia terus mendoakan anaknya itu supaya nantinya berubah "Ya Allah ampunilah anak ku, lindungi lah dia ya Allah,aku tahu nantinya dia pasti akan berubah.
Setelah beberapa hari dari kejadian itu,hari ulang tahun Zara pun tiba, mengingat ulang tahun putri tercintanya , Nenek Maria dengan senang hati membuatkan kue untuk Zara. Namun, Zara malah marah dan menolak kue itu dengan kasar. "Aku tidak butuh kue jelek dan tidak enak ini, Bu!" teriak Zara dengan nada menghina. Nenek Maria merasa sangat terluka dan malu karena hanya bisa memberikan sesuatu yang sederhana.
Waktu terus berjalan, Zara semakin dewasa namun sikapnya terhadap Nenek Maria tidak berubah. Ketika Zara memutuskan untuk pergi bekerja di kota, ia meninggalkan Nenek Maria sebatang kara di rumah. Nenek Maria sering menangis saat menelepon Zara, namun Zara selalu mengabaikannya dan tidak mengangkat teleponnya.
Beberapa tahun kemudian, Nenek Maria jatuh sakit parah. Tetangga mereka yang baik hati mencoba menghubungi Zara untuk memberitahunya, namun tidak ada jawaban dari Zara. Setelah berjuang melawan penyakitnya, akhirnya Nenek Maria meninggal dunia, sendiri di rumah mereka yang sunyi.
Suatu hari, Zara kembali ke desa halaman setelah sekian lama. Ia memiliki niat untuk mengambil surat tanah rumah mereka karena ingin menggunakan rumah itu sebagai modal untuk membuka usaha di kota.
Zara berdiri di depan rumah yang sunyi, hatinya terasa hampa. Suara desir angin dan gemuruh daun-daun di halaman menjadi saksi bisu atas kepergian ibunya, yang telah berlalu dua bulan yang lalu. Ia mengetuk pintu dengan keras, berharap mendengar suara ibunya memanggil namanya seperti dulu
"Ibu, buka pintunya!" teriak Zara sambil menggedor pintu dengan keras, namun tidak ada jawaban. ,zara terus menggedor pintu rumahnya dengan keras dan berteriak mengambil ibunya.
"Tidak ada yang menjawab, Zara," kata tetangga dengan suara lembut," meninggal dunia dua bulan yang lalu."
Mendengar kata-kata itu, Zara terdiam. Air matanya berlinang membasahi pipi. Ia merasa seolah dunianya runtuh. Semua kenangan bersama ibunya mengalir deras dalam ingatannya. Zara teringat bagaimana ibunya selalu berusaha menyenangkan hatinya meskipun ia sering kali kurang berterima kasih. Ibu yang selalu dengan sabar memasak meski mungkin hanya seadanya, yang rela meminjam uang untuk membelikan Zara apa yang ia inginkan.
Zara memutuskan untuk ke makam ibunya dia sana zara menangis sejadi-jadinya dan meminta maaf, sepulangnya dari makam ibunya, Zara merasakan kesedihan yang begitu mendalam.kembali ke rumah dan Ia menguburkan wajahnya di bantal favorit ibunya dulu , mencoba menenangkan diri,sambil terus menangis,"Maafkan Zara, Bu," bisik Zara dalam tangisnya saat ia memeluk bantal ibunya ibunya. "Zara belum sempat bersujud di kaki iBu, Zara kangen Bu. Zara rindu akan masakan iBu, zara rindu suara iBu."
Namun, penyesalan tetap menghantuinya. Hanya jika ia bisa kembali waktu, jika ia bisa menyadari betapa berharga setiap momen bersama ibunya. Namun kini, semua itu hanya tinggal kenangan.
Setiap hari berlalu, Zara mencoba melanjutkan hidupnya. Ia membawa dalam hati sebuah kekosongan yang sulit diisi. Foto ibunya tetap menghiasi dinding rumah, menjadi saksi bisu atas kehadiran yang tak akan kembali. Zara menemukan bahwa meski ia memiliki keberhasilan di kota, meski ia bisa membuka usaha, namun itu tak mampu menggantikan kehilangan yang dirasakannya.
Dalam kesendirian, Zara menemukan titik terang dari pelajaran hidup yang berat ini. Ia belajar untuk lebih menghargai waktu bersama orang yang dicintainya, sebelum terlambat. Dan setiap hari, ia membawa penyesalan yang dalam, sebagai pengingat akan seorang ibu yang begitu mencintainya meski sering kali tidak terungkapkan dengan kata-kata.
Dan di sana, dalam keheningan rumah yang kini hanya berisi kenangan, Zara meratapi kepergian seorang ibu yang dengan setia mengasihi sampai akhir hayatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H