Jurnal ilmiah menurut Permenristekdikti No 9 Tahun 2018 adalah bentuk pemberitaan atau komunikasi yang memuat karya ilmiah dan diterbitkan berjadwal dalam bentuk elektronik dan/atau tercetak. Kualitas jurnal ilmiah ditentukan melalui akreditasi.
Akreditasi adalah kegiatan penilaian untuk penjaminan mutu jurnal ilmiah melalui kewajaran penyaringan naskah, kelayakan pengelolaan, dan ketepatan waktu penerbitan jurnal ilmiah. Untuk melakukan penilaian jurnal ilmiah, dibentuk tim asesor yaitu sekelompok orang yang kompeten yang bertugas menilai dan menjamin mutu sebuah jurnal ilmiah.
Berdasarkan tingkatan akreditasinya, maka jurnal ilmiah terbagi menjadi 6 yaitu:
a. peringkat 1 (satu) dengan nilai (n), 85 (delapan puluh lima) n 100 (seratus);
b. peringkat 2 (dua) dengan nilai (n), 70 (tujuh puluh) n < 85 (delapan puluh lima);
c. peringkat 3 (tiga) dengan nilai (n), 60 (enam puluh) n < 70 (tujuh puluh);
d. peringkat 4 (empat) dengan nilai (n), 50 (lima puluh) n < 60 (enam puluh);
e. peringkat 5 (lima) dengan nilai (n), 40 (emapt puluh) n < 50 (lima puluh); dan
f. peringkat 6 (enam) dengan nilai (n), 30 (tiga puluh) n < 40 (empat puluh).
Seluruh jurnal ilmiah terakreditasi, terdaftar pada laman jurnal tingkat nasional yang dikenal dengan sebutan SINTA yaitu akronim dari Science and Technology Index. Sehingga kemudian penyebutan jurnal dengan akreditasinya menjadi: jurnal Sinta 1 (S1), Sinta 2 (S2) dan seterusnya sampai Sinta 6.
Walaupun memiliki tingkatan-tingkatan seperti tersebut di atas, sebuah jurnal dengan tingkatan S6 (terendah) sekalipun minimal tentu memiliki tim redaksi yang berfungsi menerima naskah dari author dan melakukan pengecekan redaksional (typo) dan penulisan Bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan KBBI.
Oleh sebab itu betapa kesalnya saya ketika menemukan sebuah naskah jurnal ilmiah yang sangat jauh dari layak. Mulai dari halaman 5 sampai halaman terakhir (14) banyak typo seolah-olah penulis buru-buru mengejar tenggat. Namun yang saya sesalkan bukan penulis semata, melainkan tim redaksi yang seharusnya melakukan proof reading, membaca dengan cermat untuk menemukan dan memperbaiki typo dan berbagai penulisan yang tidak memenuhi kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Lebih-lebih lagi ketika melihat bahwa jurnal tersebut dikelola oleh Fakultas Ilmu Budaya sebuah universitas yang cukup ternama. Waduh, bagaimana mungkin ini terjadi?
Kekurangan si jurnal (yang saya tidak akan sebutkan nama jurnalnya) saya kelompokkan menjadi tiga kelompok antara lain:
1. Penulisan 'di' yang tidak tepat
Cara penulisan 'di' sebagai imbuhan dan 'di' sebagai kata penunjuk tempat, berbeda. Di sebagai imbuhan yang diikuti dengan kata kerja dituliskan secara bersambung, sedangkan di sebagai kata penunjuk tempat dituliskan secara terpisah.
Lebih jelasnya saya contohkan pada kalimat-kalimat berikut:
a. Proyek itu dikerjakan di lokasi yang jauh dari kota.
b. Di sini senang, di sana senang, tapi kalau dicubit tentu tidak senang.
c. Kue itu dibuat dari kulit pangsit dan dijual di pasar.
Sudah jelas kan, bagaimana menulis si 'di' ini? Pada naskah jurnal ilmiah yang saya baca, kadang penulisannya benar, kadang salah. Mengganggu mata yang membaca.
2. Penulisan huruf besar/huruf kapital yang tidak tepat
Pada naskah jurnal masih banyak terdapat kata di tengah kalimat, yang ditulis berawalan huruf besar.
Seharusnya, huruf besar hanya ditulis di awal kalimat, di awal nama orang, di awal kalimat dalam tanda petik pada kalimat langsung (kalimat percakapan), di awal nama agama; kitab suci; dan Tuhan, termasuk sebutan dan kata ganti Tuhan serta singkatan nama Tuhan (misalnya Tuhan YME), dan banyak lagi aturan penulisan huruf besar. Totalnya 23 aturan bisa dilihat di sini.
3. Typo di sebagian besar halaman naskah
Typo atau saltik (salah ketik) di banyak kata merata di sebagian besar halaman naskah terdiri dari kata yang kurang huruf (mengganngu, menurunya 2 kali, tumbu, pengembagan, tanama, berdapak, diekpor 2 kali), kata kelebihan huruf (menuah, menurungkan 3 kali, memahamii), dan kata dengan huruf tertukar posisinya (sedikti -- sedikit, pengasawan -- pengawasan, tunggi -- tinggi).
Saltik seperti ini kalau ditemukan berulang, sangat tidak nyaman.
Tiga kesalahan yang saya temukan dalam jurnal ilmiah yang saya baca, kemungkinan terjadi karena:
1. Memang tim redaksi (editor) tidak bekerja optimal, sehingga meloloskan naskah yang belum zero typo.
2. Terjadi kekeliruan sehingga naskah yang diunggah bukanlah naskah final, tapi naskah yang belum selesai diedit.
Tentunya kalau benar human error terjadi di pihak tim redaksi, merugikan author juga karena akan mengurangi kesempurnaan tulisannya. Pada kasus seperti ini seharusnya author mengajukan komplain saat naskah terbit. Bukankah pasti author akan membaca ulang naskahnya yang sudah tayang?
Saya tak hendak mempermalukan siapa pun dengan menulis artikel ini. Kalau mau mempermalukan, sudah saya sebut nama jurnalnya, judul naskahnya, dan nama authornya. Tujuan saya menulis artikel ini hanya untuk mengimbau agar kita semua berhati-hati dalam menulis dan mengedit. Kesalahan yang sama dapat terjadi pada siapa pun, termasuk saya.
Khususnya buat penulis, kita tidak dapat menggantungkan harapan setinggi langit pada tim redaksi/editor. Oleh sebab itu marilah kita selalu berhati-hati dalam menulis, membaca ulang tulisan kita sebelum memublikasikannya, dan terus belajar kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar agar tulisan kita semakin nyaman dibaca.
Tidak hanya saat menulis jurnal ilmiah saja, lho. Menulis apapun kalau bisa ya, memberikan effort terbaik. Demikian. Salam hangat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H