Tak lama Saka berlari mau ke toilet. Ia serahkan tongkat estafet pada Pandu yang sedari tadi berdiri diam menatap langit.
"Ini biasa-biasa?" tanyanya sambil merentangkan tangan menunjuk langit yang indah.
"Tentu tidak. Itu ciptaan Tuhan. Lukisan Tuhan yang maha kuasa. Tapi itu adalah senja yang sama dengan kemarin dan besok. Selalu akan ada senja di situ, dan di mana pun di langit barat dunia ini," ucap Marisa. "Foto lagi aku, Ndu!"
Pandu menerima ponsel yang diulurkan Marisa, dan mulai memotret. Setelah empat kutipan, ia menurunkan ponsel, berkata serius.
"Mau nggak kalau senja ini dan senja-senja ke depannya menjadi luar biasa buat kamu?"
"Hah? Maksud kamu apa? Bagaimana caranya?"
"Caranya dengan menjawab pertanyaanku. Icha, aku sayang kamu. Kamu mau jadi pacarku?" tanya Pandu sambil menatap Marisa lekat-lekat.
Marisa terperangah. Pandu benar. Senja, di mana pun, tak akan lagi menjadi senja yang biasa-biasa bagi Marisa.
"Sialan, kamu, Ndu," desis Marisa.
"Tak usah dijawab kalau ditolak, dan anggap aku tak pernah mengatakan apa-apa," ucap Pandu cepat, sambil menatap kembali lurus ke arah senja.
"Kamu serius?" tanya Marisa mendekat.