"Maaaaak!"
Suara anakku terdengar menggelegar setelah sedetik sebelumnya terdengar suara pintu ruang tamu dibuka secara sembrono.
Dua suara yang cukup membuatku yang sedang potong-potong sayur di dapur menjadi emosi.
"Maaaaak!"
Eh, dia teriak lagi. Gusar aku menuju ruang tamu dengan pisau masih di tangan kanan.
"Kenapaki itu, Aco? Berteriak-berteriak macam sopir petek-petek. Jangko juga buka pintu sembarangang. Rusak itu pintu selalu kau buka paksa."
"Maaaaak!"
Aco masih berteriak. Raut mukanya yang seganteng arjuna, terlipat seperti pakaian habis dikeringkan di mesin cuci.
"Kenapako menangis? Ada yang pukulko di sekolah?"
"Maaaaak, saya ... saya ... huhuhu..."
Eh, menangis pula dia.
"Kenapako nak?"
Luluhlah aku. Kulepas pisau begitu saja di lantai macam tokoh sinetron lagi dapat adegan kaget. Kudekati anakku dan kupeluk walau badannya bau kaci.
"Ada apa nak?"
"Mak, mulai besok aku harus masuk sekolah jam lima pagi!"
Kurenggangkan pelukanku, tak percaya menatap wajahnya yang kuyu.
"Aaaappppaaaa??!!"
(Mata melotot, kamera zoom in, zoom out)
"Malangnya nasibmu, Naaak!"
"Iya, Maak, bagaimanami ini huhuhu."
Kami pun bertangis-tangisan macam habis nonton drama India.
Tapi bukan mamak-mamak Makassar, kalau terlalu jauh terbawa perasaan. Harus ada solusi dari semua kericuhan ini.
"Sudah, bersih-bersih badan ko sekarang, Nak. Setelah itu makan siang. Mamak sudah masakkan ko sayur sop sama ikang goreng sambal dabu-dabu."
Aco berjalan gontai menuju kamarnya.
Baiklah, sekarang yang ada di depan mata diselesaikan. Kumatangkan dulu sayur sop, dan meneruskan menyiapkan makan buat anakku satu-satunya.
Setelah makan siang, Aco pergi katanya mau ke rumah temannya. Kuizinkan tapi kularang ia berlama-lama. Namanya anak lelaki, walau dilarang lama-lama, tetap saja dia baru nongol menjelang azan maghrib. Segera ia kusuruh mandi dan bersiap ke masjid.
Setelah pulang dari masjid, aku mendampingi Aco makan, lalu menyiapkan bukunya besok dan membaca sedikit. Aco pergi ke masjid lagi saat azan Isya berkumandang dan setelah pulang, ia segera kusuruh tidur.
"Kenapa tidur, Mak? Masih jam delapang ini e," protes Aco.
"Eeh, jangko tidur terlalu malam. Ingat ko besok masuk jam lima. Jam setengah empat ko harus sudah bangun karena lama sekali ko kalau di kamar mandi."
Aco bersungut-sungut, namun terus menurut.
Tinggal aku menyiapkan bahan untuk dimasak esok hari.
Jam setengah empat aku benar-benar membangunkan Aco. Makanan sudah siap di meja karena aku sudah bangun dan mulai memasak sejak jam tiga. Aco tidak dapat membuka matanya. Ia terlalu mengantuk.
"Seperti kurasa Ramadhan yang datang terlalu dini," gumamnya sambil meneguk air hangat yang kusediakan.
"Betul nak. Inipun bukan sarapan. Sekalian kau sahur saja. Baik juga mamak rasa itu sekolah jam lima. Nanti kalau kau puasa, berkurang uang jajan ko keluarkan. Tidak perlu main-main di luar karena bisa haus. Nanti kalau maghrib, kubikinkan ko pisang ijo sama lontong kari ayam."
Aco melongo. Menatapku berharap aku hanya bercanda. Tapi tidak, Ferguso. Aku tidak bercanda. Aku serius seserius-seriusnya.
"Jadi ... puasa saya ini, Mak?" tanya Aco lemah.
"Puasako, Nak. Rugi-rugi bangun jam segini kalau tidak puasa. Tadi seharusnya kau juga salat tahajud dulu. Ingatko itu, niat puasa. Nanti pergi salat subuh di masjid, janganko makan-makan sembarang, nah?"
Hari pertama sekolah pukul lima, anakku berangkat dengan gontai dan mengantuk. Pulang sekolah dia lebih lemas lagi dan hanya di rumah saja menunggu azan maghrib. Hari kedua, ia mulai pasrah, dan mau puasa lagi setelah nego untuk tetap dapat uang jajan untuk dia tabung. Hari ketiga ia mulai terbiasa puasa, dan hari keempat dan seterusnya ia berangkat dengan semangat walaupun masih berpuasa.
Hari ke tiga puluh ia pulang sekolah dengan gontai.
"Kenapa ko, Nak?"
"Maaaaak ... sudah satu bulan sekolah jam lima. Tadi ada pengumuman kalau sudah dievaluasi. Hasilnya, mulai besok, kami kembali masuk jam tujuh pagi."
"Ya, sudah, Nak. Namanya peraturan pemerintah memang begitu selalu berubah-ubah. Kita yang hanya rakyat kecil, hanya bisa menerima dan menjalankan peraturan," jawabku.
"Tapi aku nanti akan kehilangan saat-saat indah sahur dan puasa selama satu bulan ini, Maaak. Aku sudah terlanjur cinta dengan puasaku."
"Alhamdulillaaah, Nak," tak terasa air mataku mengalir mengalir. Terharu punya anak soleh gara-gara kebijakan sekolah pukul lima.
Tenang saja, mamak-mamak Makassar punya solusinya. Kuhubungi mamak-mamak yang lain, cari dukungan untuk sama-sama demo, minta sekolah tetap dilaksanakan pukul lima saja, tidak usah kembali pukul tujuh.
Tapi sayangnya, rupanya mamak-mamak yang lain tidak setuju. Mereka malah marah-marah dengan ideku. Mereka lebih senang kalau jam masuk sekolah kembali seperti sedia kala sejak zaman orde baru.**
Keterangan:
Petek-petek = sebutan untuk angkot di Makassar
Bau kaci = bau asam/bau kecut
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H