"Ngawur!" sergah Bardo setelah mendengar pertanyaan Handono. "Makanya siang-siang jangan kebanyakan tidur! Mimpi potong gaji pulak kau. Gaji sudah sedikit mau tinggal berapa lagi? Ingat kau cicilanmu di bank, mobilmu belum lunas, utangmu di koperasi juga belum lunas."
"Terima kasih, Bardo. Terima kasih. Alhamdulillah ternyata gajiku tidak jadi dipotong."
Handono menutup teleponnya dan sujud syukur, nungging membelakangi televisi. Semua kata-kata Bardo benar adanya, hanya Bardo lupa kalau Handono juga sedang renovasi rumahnya yang kedua, yang rencananya akan dikontrakkan. Anak sulungnya juga baru saja masuk sekolah kedokteran, butuh biaya yang tidak sedikit. Anak keduanya, merengek minta sekolah ke luar negeri.Â
Siapa bilang 15% itu sedikit? Itu banyak dan berarti buat PNS macam Handono, yang besar pasak daripada tiang. Yang ingin dipandang sukses dari citra kemewahan yang ia tampilkan. Untung saja, breaking news itu hanyalah sekadar mimpi.Â
Handono tersenyum lagi, meraih ponselnya, ngobrol dengan teman-temannya di klub bulutangkis membicarakan rencana turnamen yang mereka susun. Semua berjalan aman tenteram damai seperti biasanya.
Sementara di luar sana, pekerja informal bekerja berpeluh di bawah sengatan matahari. Bekerja dari pagi, hingga pagi lagi.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H