Seiring dengan suara latto-latto yang terdengar makin melemah, saya menulis artikel ini. Saya bilang melemah, karena demamnya memang sudah jauh berkurang, beda dengan sekitar dua bulan lalu di saat suara latto-latto di sekitar rumah saya terdengar kencang, bahkan hingga jauh malam.
Pertama saya mengetahui mainan latto-latto sekitar dua bulan lalu, saat hari-hari diusik oleh bunyi tek tok tek tok yang jauh dari merdu. Apaan sih, itu? Lalu akhirnya tiap pagi saat mengantar anak ke sekolah, saya melihat biang kerok suara tek tok tek tok, ternyata mainan berupa dua tali yang digantungi bola plastik bulat yang dimainkan dengan cara diayun hingga beradu secara konsisten, menimbulkan suara tek tok tek tok yang bising itu.
Lambat laun saya melihat beberapa anak memainkannya dengan cara seolah-olah mereka dilahirkan sebagai pakar latto-latto, canggih banget! Diayun-ayun di bagian depan tubuh, lalu dinaikkan di atas kepala, kemudian di belakang kepala, olala.
"Pa, itu mainan apa sih?" tanya saya keheranan. Soalnya sumpah, walaupun kemudian saya tahu (dari suami saya dan dari beberapa tulisan kompasianers) bahwa latto-latto itu mainan jadul, saya sama sekali belum pernah mainan benda itu di masa kecil.
Suami saya menjelaskan bahwa ia sudah memainkan latto-latto sejak kecil.Â
"Kok, kayaknya pas kecil aku nggak pernah tahu ya, Pa? Apa mungkin permainan ini asalnya dari Sulawesi?" tanya saya. Suami saya setuju dan mengiyakan (di kemudian hari saya tahu bahwa info itu salah). Lalu saya pun merengek minta dibelikan.
"Beliin ya, Pa. Bagus kayaknya mainan itu untuk melatih motorik anak dan juga biar anak-anak nggak main gadget saja," ucap saya. Padahal alasan sebenarnya, saya penasaran juga ingin memainkannya, hahha.
Suami saya hanya diam saja, senyum-senyum.
Tak dinyana waktu saya pulang kantor, di kursi tamu sudah bertengger latto-latto berwarna biru.
"Wah, Papa jadi beli, ya? Beli di mana?" seru saya bertanya takjub.