Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

7 Alasan Mengapa Perempuan Indonesia Harus Nonton "Kartini"

1 September 2021   15:37 Diperbarui: 1 September 2021   17:57 1504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cuplikan film Kartini| Sumber: Legacy Pictures

Sejauh mana Anda mengenal Kartini, atau yang biasa kita kenal sebagai Ibu Kita Kartini? Mungkin Anda mengenal beliau sebatas pada perayaan rutin tanggal 21 April, berkebaya dan mengikuti berbagai lomba di sekolah? 

Atau sebatas ingatan sekilas pada pelajaran sejarah bab pahlawan wanita dan mengenang beliau sebagai tokoh emansipasi wanita? Atau justru Anda sudah kenal luar dalam siapa Kartini dan membaca semua surat-suratnya yang fenomenal?

Terus terang, sebelum saya menonton film "Kartini", pengetahuan saya tentang Kartini sangat terbatas sekali. Saya hanya tahu beliau tokoh emansipasi, mendirikan sekolah perempuan, menikah dengan laki-laki yang sudah memiliki istri, dan lalu meninggal pada usia muda setelah melahirkan putranya.

Film "Kartini" yang saya tonton dalam rangka #HUTKOMiK adalah versi tahun 2017 yang dibintangi oleh Dian Sastro sebagai Kartini, Acha Septriasa sebagai Roekmini, Ayushita sebagai Kardinah, Christine Hakim sebagai Ngasirah, dan disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Film ini bisa dibilang #filmperjuangan, walaupun bukan perjuangan fisik. 

Para pemeran film
Para pemeran film "Kartini" (Sumber: instagram Dian Sastro)

Kisah bermula ketika Kartini kecil dilarang tidur bersama ibu kandungnya sendiri. Ibu kandungnya, istri pertama ayahnya, bukanlah perempuan bangsawan. Pada masa itu ada peraturan pemerintah Belanda bahwa yang menjadi bupati harus menikah dengan kaum bangsawan saja. Ayah Kartini yang sudah menikah dengan Ngasirah (ibu kandung Kartini), terpaksa harus menikah dengan RA Woeryan. 

Ngasirah tidak boleh tinggal di rumah utama, hanya di rumah bagian belakang. Anak-anaknya tidak boleh memanggilnya ibu, namun 'yu' (dari mbakyu yang artinya kakak, namun bisa juga berarti panggilan untuk pembantu). 

Ngasirah hanya melakukan pekerjaan kasar di rumah, sementara kedudukan istri utama, yang tampil dalam kehidupan sosial sehari-hari, adalah RA Woerjan.

Gimana, sudah ngenes belum perasaanmu?

Terasa banget kan, ketidakadilan yang diciptakan oleh Belanda, dan anehnya para bupati itu mau-maunya saja. Sungguh pedih hidup dijajah bangsa lain yang seenaknya melakukan intervensi budaya dan menorehkan sejarah kelam bangsa ini. Sudah seharusnya setiap gerak pahlawan bangsa dulu dalam membebaskan negeri kita dari cengkeraman penjajah, wajib kita hargai.

Berikut 7 hal yang menarik dan penting dari film Kartini yang wajib kamu renungi, dan yang membuat perempuan Indonesia harus nonton film ini:

1. Kondisi Perempuan Pada Zaman Kartini

Kalau dibilang Kartini memberi pencerahan bagi masa depan perempuan di zamannya, saya setuju sekali. Pada zaman itu, sangat jarang anak perempuan pribumi yang mendapatkan kesempatan sekolah. 

Contohnya saja Kartini dan adik-adiknya yang perempuan, mereka bersekolah hanya sampai usia 12 tahun saja. Itu pun karena mereka termasuk warga pribumi kelas atas dan sang ayah termasuk pria berpikiran moderat.

Perempuan pada zaman itu, setelah mendapatkan haid pertamanya, harus masuk pingitan. Diam di dalam rumah, hingga ada lelaki yang melamar.

Ketidakadilan juga muncul gara-gara peraturan Belanda di mana pejabat sekelas bupati harus menikah dengan perempuan bangsawan. Hal ini efeknya sangat terasa oleh Kartini dan saudara-saudaranya. Untuk mendapatkan promosi sebagai bupati, ayah mereka harus menikah lagi dengan perempuan bangsawan. 

Ibu mereka yang seorang istri pertama akhirnya berkedudukan layaknya babu di rumah suaminya sendiri. Ia harus mlaku ndodok (jalan jongkok) di rumah suaminya sendiri, memanggil raden ayu pada madunya, memanggil den ajeng pada anak-anaknya, dan ngladeni madunya laksana budak. 

Sungguh peraturan yang sangat mbelgedhes. Ndhrodhog hati ini menonton adegan-adegan ketidakadilan pada Ngasirah.

Jadi kalau sekarang kamu, perempuan Indonesia, dapat sekolah sampai jenjang tertinggi, say thanks untuk Kartini atau siapa saja tokoh pendobrak budaya yang berjuang agar perempuan mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam memeroleh pendidikan

2. Pemberontakan Kartini dimulai Sejak Dini

Mungkin sejak awal bibit ketidakadilan yang ia lihat dengan mata kepala sendiri itulah, yang membuat Kartini memiliki jiwa bebas dan penuh pemberontakan. Awalnya, masa pingitan ia hadapi dengan acuh dan rada apatis. 

Namun kemudian ketika ia telah menemukan jati dirinya dan tahu apa yang ia mau, Kartini mulai menentukan langkah yang tak mudah. Ia merekrut adik-adiknya sebagai pengikut kesetaraan gender seperti dirinya. Ia berani menyuarakan pendapat-pendapatnya. Ia ingin mengubah kondisi perempuan bangsanya.

Jadi, perempuan Indonesia, kita harus mengikuti sifat dan sikap Kartini. Ia berani karena ia yakin apa yang ia lakukan itu benar.

3. RM Sosrokartono, pembuka pintu dunia Kartini

Sosok kakak laki-laki Kartini ini digambarkan tidak terlalu mendominasi film. Namun ialah tokoh penting di balik perkembangan pemikiran Kartini. Saat hendak berangkat studi ke Belanda, RM Sosrokartono memberikan kepada adiknya yang suka membangkang itu, kunci lemari kamarnya -- yang penuh buku-buku tebal. 

Mulailah Kartini melahap bacaan yang pelan-pelan mengukir pemikiran dan pendiriannya. Kartini yang penuh semangat mengirimkan surat ucapan terima kasih pada kakaknya, menyatakan bahwa buku-buku kakaknya sungguh sangat menginspirasi.

Satu kalimat kakaknya untuk Kartini, " ... buku-buku itu tidak berarti jika hanya bermanfaat bagi dirimu sendiri, kau harus berbagi..." Kartini mengangguk penuh tekad yang menyala-nyala.

Scene ini entah bagaimana membuat dada saya berdebar. Bertanya, apa yang sudah saya lakukan dengan ilmu yang sudah saya reguk selama ini. Apakah saya sudah berbagi dengan sepenuh usaha seperti Kartini? Apakah kamu juga sudah, wahai perempuan Indonesia?

4. Kartini Penuntun Jiwa Merdeka Adik-Adiknya

Ketika tiba saat kedua adik perempuannya masuk pingitan dan tidur dalam satu kamar dengannya, Kartini senang sekali. Awalnya dia bergaya cuek dan menggojlok adiknya dengan menyuruh mereka berdua bersimpuh dengan tangan menyembah di atas kepala sampai pegal. Lalu dengan ringan dia bilang:

" ... di kamar ini, aku penguasa. Kamu berdua harus nurut sama aku. Panggil aku Kartini saja ..."

Kartini menyerahkan buku-buku tebal yang sudah dibacanya, agar dibaca juga oleh kedua adiknya.

"Nih, kalian baca semuanya."

Bersama kedua adiknya, masa pingitan dijalani dengan kegembiraan dan semangat karena ada teman curhat sepemikiran.

Kartini dan kedua adik perempuannya, sangat dekat (Sumber: instagram Dian Sastro)
Kartini dan kedua adik perempuannya, sangat dekat (Sumber: instagram Dian Sastro)

Jadi, wahai perempuan Indonesia, berbagi itu tidak perlu pusing dan keder karena mikir harus berbagi pada seluruh dunia. Berbagilah pada orang terdekat terlebih dahulu. Saudaramu, atau anakmu. Dan karena kita sekarang jauh lebih beruntung dari pada Kartini, di mana kita punya sosmed, maka sebetulnya kita bisa berbagi dengan lebih luas lagi. Tapi setidaknya, bagilah ilmu, pada orang terdekat.

5. Semangat Belajar yang Menyala-nyala

Suatu ketika ada tamu Belanda datang bertamu pada ayah Kartini. Kartini dan kedua adiknya yang sedang memasak di dapur mengintip. Saat itu Kartini menggantikan tugas pembantu membawakan minum untuk tamu. 

Saat itulah ia kemudian ikut berbincang dengan tamu ayahnya dan mendapat kesempatan dari salah seorang tamu, untuk menulis di sebuah terbitan. 

Sang tamu meminta ayah Kartini untuk tidak terlalu ketat memingit putri-putrinya, sejak itu Kartini dan kedua adiknya bisa keluar rumah, berkunjung ke rumah Nyonya Belanda yang membantunya menerbitkan tulisan, mengembangkan usaha ukiran Jepara, dan mengajar murid perempuan secara terbatas di teras rumah.

Kartini dan adik-adiknya mendapat kesempatan keluar rumah (Sumber: instagram Dian Sastro)
Kartini dan adik-adiknya mendapat kesempatan keluar rumah (Sumber: instagram Dian Sastro)

Terkadang saya ingin memelajari sesuatu, namun saya gengsi atau malu bertanya. Scene Kartini yang berusaha menunjukkan jati dirinya pada tamu Belanda membuat saya tersadar, bahwa semangat belajar tidak boleh membuat kita malu. Kita bisa bertanya pada siapapun yang kita anggap menguasai ilmu yang hendak kita pelajari. Belajarlah dari sikap Kartini.

6. Kompromi dalam Keterbatasan

Semangat yang menyala-nyala harus sedikit meredup pada sebuah kata kompromi. Pada zamannya, untuk mencapai tujuan dan cita-cita, banyak sekali penghalang Kartini. 

Tidak saja adat dan tradisi, namun juga cekal dari kerabat terdekatnya seperti kakak lelakinya yang lain, ibu tirinya, bahkan kolega ayahnya yang kurang berpikiran maju. 

Ayah Kartini sebenarnya adalah pendukung Kartini, namun Kartini terjepit dalam pilihan yang tak terelakkan. Antara studi lanjut di Belanda atau menikah, karena sudah ada yang melamarnya. 

Akhirnya Kartini menurut pada tradisi. Mau menikah dengan lelaki penganut poligami. Tapi Kartini tidak menyerah begitu saja, ia mau menikah dengan beberapa syarat.

Ia menerima pinangan bupati Rembang, dengan syarat:

1. Saya tidak mau mencuci kaki suami saya saat acara panggih (acara adat pengantin Jawa).

2. Saya tidak mau dibebani dengan pranata sopan santun yang rumit, saya mau diperlakukan seperti orang biasa saja.

3. Saya mengharuskan calon suami saya untuk membantu saya mendirikan sekolah buat perempuan dan orang miskin

4. Saya ingin Yu Ngasirah tidak lagi tinggal di rumah belakang, tetapi tinggal di rumah depan, dan saya ingin semua putra-putrinya memanggilnya "Mas Ajeng," bukan Yu lagi (Mas Ajeng panggilan yang artinya ibu).

Wahai perempuan Indonesia, menggapai cita-cita itu tidak semulus jalan tol. Ada rintangan dan halangan. Kita harus tahu pasti kapan kita bisa terus melaju, atau kapan kita harus berkompromi. Dan kalau kita memang harus kompromi, kita juga harus pintar bernegosiasi seperti Kartini.

7. Perjuangan yang Belum Usai

Setelah Kartini menikah, ia mengembangkan sekolah di Rembang. Suaminya memenuhi semua kemauan Kartini. Kisah selanjutnya kita semua sudah tahu, bahwa Kartini wafat setelah melahirkan putra satu-satunya. Ia tidak sempat melihat cita-citanya agar perempuan Indonesia dapat bersekolah dan memiliki kesempatan yang setara dengan laki-laki - tercapai.

Tentu saja, wahai perempuan Indonesia, perjuangan itu harus kita lanjutkan.**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun