Semangat yang menyala-nyala harus sedikit meredup pada sebuah kata kompromi. Pada zamannya, untuk mencapai tujuan dan cita-cita, banyak sekali penghalang Kartini.Â
Tidak saja adat dan tradisi, namun juga cekal dari kerabat terdekatnya seperti kakak lelakinya yang lain, ibu tirinya, bahkan kolega ayahnya yang kurang berpikiran maju.Â
Ayah Kartini sebenarnya adalah pendukung Kartini, namun Kartini terjepit dalam pilihan yang tak terelakkan. Antara studi lanjut di Belanda atau menikah, karena sudah ada yang melamarnya.Â
Akhirnya Kartini menurut pada tradisi. Mau menikah dengan lelaki penganut poligami. Tapi Kartini tidak menyerah begitu saja, ia mau menikah dengan beberapa syarat.
Ia menerima pinangan bupati Rembang, dengan syarat:
1. Saya tidak mau mencuci kaki suami saya saat acara panggih (acara adat pengantin Jawa).
2. Saya tidak mau dibebani dengan pranata sopan santun yang rumit, saya mau diperlakukan seperti orang biasa saja.
3. Saya mengharuskan calon suami saya untuk membantu saya mendirikan sekolah buat perempuan dan orang miskin
4. Saya ingin Yu Ngasirah tidak lagi tinggal di rumah belakang, tetapi tinggal di rumah depan, dan saya ingin semua putra-putrinya memanggilnya "Mas Ajeng," bukan Yu lagi (Mas Ajeng panggilan yang artinya ibu).
Wahai perempuan Indonesia, menggapai cita-cita itu tidak semulus jalan tol. Ada rintangan dan halangan. Kita harus tahu pasti kapan kita bisa terus melaju, atau kapan kita harus berkompromi. Dan kalau kita memang harus kompromi, kita juga harus pintar bernegosiasi seperti Kartini.
7. Perjuangan yang Belum Usai